Sejarah dan Hakekat Ka’bah
Salah satu makna Ka’bah (selain diartikan sebagai
kubus persegi empat) adalah mata kaki atau mata kayu, pangkal dan poros. Begitu
banyak tulisan sejarah yang menceritakan tentang sejarah Ka’bah. Namun,
sebagian besar tulisan itu hanyalah berupa catatan tentang peristiwa alam
lahiriah. Meskipun tetap memiliki nilai sebuah pencarian kebenaran untuk
mempertemukan antara ajaran agama dengan ilmu pengetahuan. Agama bertujuan
membangun spirit (akhlak). Sedangkan ilmu pengetahuan bertujuan membangun cara
bekerjanya akal untuk meluruskan arah pandang terhadap alam semesta. Keduanya
tetaplah memiliki aspek-aspek pengkajian yang sangat penting.
Cara agama dalam memahami segala sesuatu berdasarkan
bangunan spirit yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan cara ilmu pengetahuan
memahami segala sesuatu berdasarkan bangunan akal atas peristiwa-peristiwa yang
bisa diindera. Keduanya tidak terpisah sama sekali. Bahkan saling take and
give agar spirit dan akal, keduanya terbangun dengan kokoh.
Ada satu sejarah yang menuliskan tentang berdirinya
Ka’bah, yakni terjadi jauh sebelum manusia pertama turun ke bumi. Dalam kajian
tersebut, penulis sejarah menyimpulkan bahwa Ka’bah dibangun oleh Malaikat.
Bahkan cerita tentang dibangunnya Ka’bah oleh para Malaikat seolah sudah
menjadi asumsi umum yang disajikan berdasarkan analisa sebuah dalil tertentu.
Contoh dalil tersebut :
“Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail seraya berdo’a : Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami amalan kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah : 127).
Analisa tersebut menyimpulkan bahwa sebelum Nabi
Ibrahim menginjakkan kakinya ke tanah Makkah sudah ada bangunan Ka’bah yang
telah dibangun oleh malaikat dan generasi sebelum Nabi Ibrahim as. Hal itu
dapat dipahami dari kata “Yarfa’u” artinya meninggikan yang diartikan
meninggikan bangunan yang suda ada. Artinya, Ka’bah sudah lebih dulu dibangun,
dan yang membangunnya adalah para Malaikat.
Analisa tersebut barangkali ada benarnya. Tetapi,
persepsi tentang Malaikat pun harus tetap berdasar. Jika analisa dalil nash
tersebut menyimpulkan bahwa Malaikat telah membangun Ka’bah, maka persepsi
tentang Malaikat yang melakukan suatu perbuatan tidaklah sama seperti manusia.
Namun, asumsi itu sangat sulit untuk membedakan Malaikat dengan manusia. Sebab,
Malaikat itu termasuk salah satu rukun iman sedangkan manusia tidak termasuk.
Beriman kepada Malaikat adalah azas aqidah sedangkan beriman kepada manusia
tidak ada kamusnya.
Seperti pada definisi Ka’bah secara bahasa di atas,
bahwa Ka’bah itu bermakna pangkal, mata kaki (kayu), poros atau sentral segala
sesuatu. Definisi tersebut tidak sekedar mengarah kepada tema-tema yang
sifatnya lahiriyah. Ia lebih mengarah kepada makna metaforis (majazi). Apalagi
dalam sejarahnya, bahwa Ka’bah dibangun oleh para Malaikat.
Makna Malaikat secara bahasa adalah sistem-sistem
kekuasaan. Ia berasal dari kata kerja (fi’il) malaka-yamliku, artinya
menguasai, merajai, atau memiliki. Malaikat adalah Tangan-tangan Tuhan yang
membentuk serangkaian mekanisme penguasaan Tuhan terhadap alam semesta.
Malaikat adalah bentuk jama’ dari kata tunggal Malakah. Banyaknya Malaikat
membentuk kesatuan mekanisme yang beraneka macam. Ibarat pohon yang terdiri
dari akar, batang, dahan, cabang, ranting, daun dan buah. Alam semesta ini
seperti pohon yang saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain. Syaikh
Muhyiddin Ibn Arabiy pernah mengilustrasikan ini dalam kitabnya berjudul “Syajarotul
Kaun“.
Malaikat yang disimpulkan sebagai yang pertama
membangun Ka’bah disebabkan karena dirinya yang notabene tercipta dari
cahaya, terhubung kepada Allah. Karena itu, ia termasuk bagian dari rukun iman.
Hal ini dapat dicermati dari ayat yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab (33) ayat
56 : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya shalat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, shalatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya“. Shalat dalam ayat ini bermakna keterhubungan.
Dalam menterjemahkan ayat tersebut, secara bahasa
banyak orang membedakan istilah shalat dengan shalawat. Padahal, perbedaan itu
hanya terletak pada bentuk mufrod yang bermakna tunggal. Shalat bentuk
tunggal dan shalawat bentuk jama’. Sedangkan dalam ayat tersebut tetap saja
artinya ya shalat. Yushalluuna ‘alan Nabiyy bermakna shalat kepada Nabi.
Pada cara penterjemahan ayat ini, nampak suatu persepsi bahwa shalat selalu
saja diterjemahkan kepada penyembahan secara fisik seperti penyembahan rakyat
kepada rajanya. Padahal, untuk mengatasi bentuk persepsi yang keliru ini,
shalat itu harus dipahami sebagai keterhubungan. Akan terasa beda jika
diterjemahkan begini : “”Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya terhubung
kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berhubunganlah kalian kepada
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya“.
Keterhubungan Allah, Malaikat dan Nabi membentuk suatu
kesatuan yang masing-masing punya fungsi sendiri-sendiri. Bukan berarti Allah
dengan para Malaikat dan Nabi berposisi sejajar. Allah tidak akan pernah bisa
diperbandingkan dengan apapun. Ayat di atas mengungkapkan sebuah prosedur
menghadap Allah. Kalimat perintah kepada orang beriman untuk berhubungan kepada
Nabi mengungkapkan sebuah tata cara untuk berhubungan kepada Allah. Nabi adalah
gerbang untuk memasuki wilayah Ketuhanan. Hanya Nabi yang diperkenalkan dan
mengenal Allah. Pemahaman singkat dari ayat di atas begini: “…Hai orang-orang
yang beriman, berhubunganlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya” karena Nabi berhubungan kepada-Ku (pen-).
Baiklah, kembali kepada kajian tentang Ka’bah. Mengapa
Malaikat mendirikan Ka’bah? Apa maksudnya? Mengapa Ka’bah? Kok bukan bangunan
yang lain yang dibangun pertama? Dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 96,
disebutkan :
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk
manusia, ialah yang di Bakkah, yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia.
Ternyata, bayt yang pertama dibangun untuk manusia
adalah Ka’bah. Ia berada di Bakkah. Bakkah yang kemudian menjadi awal
sejarahnya nama Mekkah itu tidak sekedar mengandung makna denotative yang hanya
merujuk kepada tempat tertentu. Makna dasar dari Bakkah adalah kesedihan,
kesengsaraan, tembusan, lobang dan kebinasaan. Semua terjemahan dasar dari
Bakkah merujuk kepada sesuatu yang fana dan sengsara. Ia merujuk kepada sesuatu
yang sering dinisbatkan untuk makna dunia. Dunia adalah makna kesedihan,
kesengsaraan dan kebinasaan. Hukum-hukum di dunia telah ditetapkan oleh Allah
sebagai mekanisme yang memunculkan kesedihan. Allah melalui para MalaikatNya
membangun rumah untuk menetralisir atau melipur segala kesedihan manusia. Rumah
itu adalah sebuah dimensi untuk menanggalkan baju keduniaan untuk menuju baju
Ketuhanan. Rumah itu membinasakan segala yang palsu untuk memasuki maqam yang
asli.
Jadi, Ka’bah adalah dimensi bathiniyah. Ia dikatakan Baytullah
(rumah Allah) karena ia merujuk kepada makna bathini. Mengapa Malaikat yang
membangun, karena Malaikat dinisbatkan pada pemahaman keimanan yang bersifat
bathini. Manusia berada pada dua dimensi; lahiriyah dan bathiniyah. Kakinya
yang satu berada di dunia dan satunya lagi berada di akhirat. Dunia dan akhirat
adalah lahir dan bathin. Ia berjalan beriring. Dalam dimensi ini, tidak ada
lagi sebutan kemarin, sekarang atau besok. Sebutan waktu tersebut hanya ada
pada dimensi dunia.
Meski dibangun oleh para Malaikat, Ka’bah hanya
diperuntukkan bagi manusia. Penjelasan ini tidak merujuk kepada suatu tempat
yang berada di dunia. Ingatlah persepsi tentang alam semesta; manusia, Nabi dan
para Malaikat. Ia hanya merujuk kepada persepsi rangkaian banyak system yang
membentuk satu kesatuan system. Sistem itu membawa manusia untuk kembali kepada
keasliannya. Ada jejak Nabi Ibrahim ketika beliau mencapai titik keasliannya
melalui rumah tersebut. Bahkan Nabi Adam pun ada jejaknya. Hingga Nabi Muhammad
pun ada jejaknya. Karena itu, ia ajarkan manusia untuk mengikuti jejaknya.
Tidak akan ada artinya bagi penelusuran dimensi akhirat, jika jejak yang dicari
adalah jejak kaki di dunia. Jejak yang dimaksud itu adalah jejak-jejak dalam
dimensi bathiniyah. Makna dari jejak itu adalah kesadaran yang sama tentang
Tuhan. Ketika seseorang menyadari tentang hakekat Ketuhanan di dalam dirinya,
ingatlah bahwa Nabi Ibrahim pun punya proses yang sama. Dalam istilah Sunda
Kuna disebut juga “tampak saking“. Inilah proses-proses yang dialami
oleh orang yang bersuluk (menjalani laku bathin untuk mengenal Allah).
Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang nyata, maqam
Ibrahim. Barangsiapa memasukinya menjadi amanlah dia. (penggalan surat Ali Imran : 97)
Rumah yang dimaksud pada ayat di atas adalah sebuah
system agar manusia memiliki arah untuk menelusuri kaki akhiratnya. Ka’bah yang
di Mekkah saat ini hanyalah simbolisasi dari dimensi kaki akhiratnya manusia.
Maqam Ibrahim telah tercetak nyata dalam rumah itu. Ia membentuk sebuah strata
bathiniyah hingga mencapai eskalasi yang paling tinggi, yakni Wilayah
Ketuhanan.
Sejarah dan Hakekat Ibadah Haji
Perkataan haji adalah bahasa Arab. Ketika
diindonesiakan, maka istilah tersebut menjadi kabur. Kebanyakan orang
memaknakan haji ya pergi ke Mekkah yang di Arab Saudi. Makna yang agung dan
luas itu diasumsikan sebagai perjalanan dimensi lahiriyah menuju ke Mekkah,
Arab Saudi. Padahal, istilah haji merujuk kepada kelanjutan ayat yang disebut
tadi, yakni surat Ali Imran : 97 :
Dan hanya untuk Allah kewajiban manusia untuk
berkunjung ke bayt, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
kepadanya. Barangsiapa mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari
semesta alam.
Istilah Haji merujuk kepada kata “hijjul bayti“.
Dalam hal ini penulis menterjemahkan sebagai berkunjung ke bayt (rumah).
Hajji, hijju atau hujja adalah sama, yakni bermakna ziarah atau berkunjung.
Salah satu makna lain adalah “dabbara laylan” (tadabbur atau merenung di
malam hari). Rumah yang Allah perintahkan untuk dikunjungi adalah rumah dalam
dimensi bathiniyah. Mengapa? Karena rumah itu memang untuk manusia, bukan untuk
makhluk lain. Karena pula, bahwa rumah itu penuh berkah dan banyak terdapat
petunjuk bagi semesta alam. Artinya, di dalam rumah itu terdapat banyak
pemahaman tentang alam semesta dari akal yang sadar. Akal yang sadar adalah
akal yang sudah berkunjung ke bayt (rumah). Karena itu, ia akan dilimpahkan
beraneka macam ilmu yang menjadi pemandu bagi akal pikirannya. Kesadaran itulah
yang membawanya untuk menyaksikan segala sesuatu dalam perspektif bathiniyah.
Akal manusia sangatlah terbatas. Tetapi, ketika akal
itu memasuki dimensi akhiratnya melalui pengertian rumah tadi, maka akal itu
seolah mendapatkan suntikan daya sehingga diperluas daya tampungnya. Ibarat
hardisk computer, memorinya di upgrade kembali. Karena itu, pandangannya
menjadi luas. Geraknya akan menjadikan berkah. Dimana keberkahannya?
Keberkahannya berada pada geraknya yang terarah dan tidak terpengaruh oleh
dunia penampakan yang masuk melalui panca indera. Ia selalu wukuf (berhenti)
dari hal-hal yang membuatnya tidak berkah sehingga menjerumuskannya.
Ibadah haji merupakan improvisasi sejarah Nabi Ibrahim
dalam mencari hakekat sesembahan yang benar. Sebagai manusia biasa, Nabi
Ibrahim juga menempuh proses yang panjang sebelum ia diangkat menjadi seorang
Nabi. Al-Quran dengan jelas merinci perjalanan Nabi Ibrahim dalam proses pencariannya
untuk mencapai kebenaran sejati dan agama yang lurus.
75. dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami
memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.
76. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah
bintang (lalu) Dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu
tenggelam Dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
77. kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia
berkata: “Inilah Tuhanku”. tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata:
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku
Termasuk orang yang sesat.”
78. kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia
berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu
terbenam, Dia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb
yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan
aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Al-An’am : 75-79).
Dalam pencariannya, Nabi Ibrahim telah melewati
berbagai macam eksperimen yang panjang. Barangkali kita pun tidak bisa terima
begitu saja ketika dikatakan bahwa seorang Nabi diangkat begitu saja oleh Allah
menjadi seorang Nabi. Asumsi itu menihilkan proses-proses kemanusiaan secara
wajar. Dalam pandangan manusia biasa yang mengalami proses kelahiran,
pertumbuhan dan kematian, setiap Nabi tetaplah mengalami hal-hal yang juga
dialami oleh manusia biasa. Beliau tidak secara tiba-tiba (sim salabim) menjadi
seorang Nabi.
Dalam ayat tersebut hanya diceritakan rangkuman dari
sebuah perjalanan panjang Nabi Ibrahim. Ketika malam gelap, ia melihat bintang
dan disembahnya bintang sebagai proses awal eksperimentasi. Barangkali proses
ini tidak semalam atau dua malam, tetapi ia berjalan dalam kurun waktu tertentu
hingga ia menemukan jawaban bahwa bintang tidak patut untuk disembah. Begitupun
bulan dan matahari, proses eksperimentasi untuk sampai pada kesadaran yang
murni dan lurus tidaklah sebentar.
Ketika kesadaran murni muncul, ia pegang erat-erat
hingga menjadi spirit bagi dirinya untuk melakukan perlawanan bagi lingkungan
sekitarnya yang masih jumud dan terikat oleh pandangan-pandangan paganisme. Sebelum
itu, secara individual Nabi Ibrahim juga mengalami perjuangan yang hebat dalam
menghadapi dan melepaskan kungkungan nafsu. Memurnikan panca indera dari pola
pikir yang diselubungi hawa nafsu tidaklah mudah. Diri akan mengalami goncangan
yang begitu dahsyat, karena akal telah menerima atau menyaksikan suatu
kebenaran yang suci. Hal ini juga terjadi pada Nabi Muhammad saw ketika
menerima wahyu pertama di goa hira. Beliau mengalami demam yang begitu hebat.
Mengapa? Karena sesuatu yang disaksikannya sangat-sangat berbeda dari
pandangannya selama ini. Apa yang terjadi setelah itu?
Kebenaran wahyu suci yang diterima oleh Nabi Ibrahim
as atau Nabi Muhammad saw tidaklah mudah untuk disampaikan kepada semua orang
pada zaman itu. Mengapa? Karena setiap orang sama sekali tidak percaya bahwa
Ibrahim atau Muhammad adalah seorang Nabi. Karena itu, beliau mengalami
tentangan yang hebat. Bahkan tentangan yang paling hebat justru selalu datang
dari keluarganya sendiri. Azar, seorang pembuat patung paling handal dan sangat
dihormati oleh raja Namrudz, adalah bapaknya Nabi Ibrahim. Spirit wahyu yang
dipegang oleh Nabi Ibrahim as harus menghadapi tentangan yang tidak jauh dari
dirinya, yakni bapaknya sendiri. Abu Jahal dan Abu Lahab, keduanya adalah paman
Nabi Muhammad saw. Spirit wahyu yang dipegang oleh Nabi Muhammad saw harus
menghadapi tentangan yang berada di lingkungan keluarganya sendiri.
Penelahaan terhadap sejarah secara proporsional sesuai
dengan ukuran-ukuran akal murni akan membuat kita termotivasi untuk bisa
memahami segala fenomena yang terjadi ketika seseorang bereksperimen dalam
mencari kebenaran sejati. Goncangan-goncangan kejiwaan tak luput juga mewarnai
perjalanan seseorang untuk melepaskan segala macam kungkungan hawa nafsunya.
Setiap orang akan selalu dituntut untuk bisa mempertanggung jawabkan nafas
kehidupannya di dunia.
Ibadah haji yang dilaksanakan di Mekkah saat ini
adalah simbolisasi dari sejarah perjalanan Nabi Ibrahim as. Jutaan manusia dari
berbagai pelosok negeri melakukan sebuah ritual yang umurnya ribuan tahun.
Kalau kita hitung kurun waktu sejak zaman Nabi Ibrahim as sebagai Nabi yang
keenam, terdapat 18 Nabi yang terlewati ketika Nabi Muhammad mengadopsi ritual
ibadah haji sehingga menjadi rukun Islam yang kelima. Nabi Muhammad saw mengadopsi
sebuah ritual tua yang hampir saja usang. Kenapa usang? Karena ritual itu pada
zaman Nabi Muhammad saw sudah banyak mengalami penyimpangan-penyimpangan karena
pengaruh paganisme masyarakat Arab pada saat itu.
Thawaf, Sa’i, tahallul, wukuf, jumroh, mabit di
Muzdalifah dan Mina yang kita sebut sebagai rukun dan wajib haji adalah
rangkaian perjalanan tauhid Nabi Ibrahim as. Rangkaian ritual itu merupakan
simbolisasi yang mengandung makna-makna yang harus bisa dicerap oleh orang yang
menuanaikan haji. Barangkali, untuk lebih detilnya lagi kita akan kaji
makna-makna ritual itu di lain kesempatan. Untuk saat ini, yang perlu kita
cermati adalah salah satu rukun haji yang langsung mendapatkan legitimasi Nabi
Muhammad saw, yakni wukuf di Arafah.
Sabda Nabi saw; “Haji adalah wukuf di Arafah”
Rukun dari sekian banyak rukun haji, yang paling utama
adalah wukuf di Arafah. Wukuf bermakna berhenti. Berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu
artinya berhenti atau berdiam. Secara harfiah, pelaksanaan wukuf berada di
padang Arafah, yakni salah satu daerah di seputar Mekkah. Secara maknawi, wukuf
berarti menghentikan gerak jasad dan kesibukan akal untuk mengenal Allah.
Arafah secara harfiah bermakna ma’rifah, yakni mengenal. Ia berasal dari kata
kerja ‘arafa-ya’rifu yang artinya mengenal.
Mengapa kesibukan akal harus diberhentikan? Karena
pada akallah dunia penampakan itu berpusat. Indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasa dan peraba, semuanya berpusat pada akal. Partikel-partikel
dunia masuk melalui panca indera tersebut. Partikel-partikel dunia itulah yang
membuat segala macam keramaian di dunia. Ia harus dikembalikan pada fitrahnya
dengan cara menutup semua lobang panca indera melalui wukuf. Menghentikan gerak
akal sementara waktu bertujuan untuk menenangkannya. Akal yang tenang akan
tunduk pada jiwa yang tenang. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang bisa kembali
kepada Tuhannya. Ke arah sanalah agama mengajarkan para pemeluknya agar
senantiasa mencapai satu titik ketenangan yang bisa membawa dirinya kepada
hakekat kejadian awal. Kejadian awal manusia adalah ikrarnya dalam mengenal
Tuhan. “alastu birabbikum, qooluu balaa syahidnaa”, bukankah Aku ini
Tuhan kalian, mereka berkata; “ya kami telah bersaksi”.
Akal yang tenang akan selalu tunduk pada jiwa yang
tenang. Akal yang tenang akan mendapatkan suntikan energy, sehingga daya
tampungnya menjadi lebih luas. Pandangannya tajam terhadap tanda-tanda alam.
Sensitifitas kecerdasannya akan selalu membawa kemaslahatan bagi lingkungan dan
alam semesta.
27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam
jama’ah hamba-hamba-Ku, 30. Masuklah ke dalam syurga-Ku. (al-Fajr : 27-30).
Gerak akal yang muncul dari panca indera,
menjadikannya terbebani oleh persoalan-persoalan dunia. Dunia telah menarik
fungsi akal dan mengikat kuat manusia sehingga ia menjadi bodoh, lemah dan
terpuruk. Belenggu dunia telah membawa akal sehingga ia tidak mampu berpikir
untuk soal-soal yang sangat sederhana. Akal telah terpenjara oleh penampakan
panca indera. Sifat-sifat buruk yang muncul dan menjadi penyakit hati berasal
dari dunia penampakan yang masuk dari panca indera. Kebencian, kedengkian, iri
hati, sombong, riya, sum’ah, buruk sangka, sakit hati, dan penyakit-penyakit
lainnya telah menjerumuskan manusia menjadi makhluk yang sangat kerdil dan
terhina. Saat itulah manusia telah menjadi bodoh.
Belenggu dunia yang mengikat kuat akal pikiran manusia
adalah berhala yang nyata. Ia bukan berada di luar diri, tetapi di dalam diri.
Ia membentuk sebuah gambar yang membuat manusia menjadi senang ataupun susah.
Gambar-gambar yang muncul di dalam bayangan akal pikiran telah membelenggu dan
menjadi penghalang bagi manusia untuk menuju Tuhannya. Melepaskan
belenggu-belenggu itu, sama sakitnya seperti mencabut kuku dari jari jemari. Laa
Ilaaha illa Anta, Subhaanaka innii kuntu minadzdzoolimiin…
Ya Allah, hati kami sakit, Jiwa kami rusak dan pikiran
kami telah membatu. Betapa kuat pengaruh dunia pada diri ini. Begitu tebal
hijab kami ini ya Allah, hingga kesaksian kami kepadaMu menjadi terhalang.
Bantu kami ya Allah…, angkatlah hijab diri ini…
Qurban dan Sejarah Nabi Ibrahim, as.
Qurban diambil dari bahasa Arab yang berarti dekat. Ia
berasal dari dasar kata kerja qariba-yaqrobu. Saat ini, qurban selalu diasumsikan
menyembelih hewan yang telah ditentukan syarat rukunnya dalam syari’at. Padahal
makna dasar dari qurban adalah segala tindakan yang dinisbatkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
Sejarah qurban diambil dari sebuah peristiwa dari
kisah Nabi Ibrahim as yang menyembelih anaknya, Nabi Ismail as. Dalam kurun
waktu tertentu, kisah itu kemudian melatarbelakangi penyembelihan hewan yang
diasumsikan sebagai ibadah dan diberi nama Ibadah qurban atau Adha. Sedangkan
adha bermakna waktu dhuha. Hal ini merujuk kepada waktu penyembelihan yang
dilaksanakan pada waktu dhuha.
Banyak kisah iringan yang melatarbelakangi terjadinya
peristiwa penyembelihan Nabi Ismail as. Diantaranya, sebelum terjadi
penyembelihan tersebut Nabi Ibrahim as bermimpi hingga 3 kali yang isinya sama,
yakni Allah memerintahkan untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail as. Riwayat
lain menyebutkan, bahwa Nabi Ibrahim as telah terbiasa berqurban dengan
menyembelih onta hingga ratusan bahkan ribuan ekor. Begitu beraninya beliau,
sehingga mengatakan; jangankan ribuan onta, kalau memang saya diperintahkan
Allah untuk menyembelih anak, akan saya sembelih. Ketika mengatakan itu, Nabi
Ibrahim belum memiliki anak.
Terlepas dari benar tidaknya riwayat seputar
penyembelihan Nabi Ismail as, lebih penting dari itu adalah bahwa makna dasar
dari qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara apa? Ya dengan
cara apa saja, yang jelas sesuai dengan tuntunan atau pedoman syari’at agama
atau pandangan umum ketatakramaan masyarakat. Menjalankan perintah qurban itu
harus lebih bersifat fungsional, bukan sekedar menjalankan tata caranya.
Fungsional yang dimaksud adalah bahwa mendekatkan diri kepada Allah dengan
meninggikan spirit bathin. Jika hanya sekedar terikat pada cara berqurban, maka
pembinaan spirit bathin yang seharusnya muncul dari makna berqurban tidak akan
ada. Karena selalu saja terikat pada tema-tema syari’at secara kaku.
Kenyataannya, qurban seolah telah menjadi trend yang bisa menjadi ukuran
prestise seseorang. Di kota besar, barangkali setiap orang neg buat
makan daging kambing. Karena setiap masjid atau kelompok masyarakat atau
lembaga dan instansi bahkan secara individu, bisa berjumlah puluhan bahkan
ratusan ekor yang disembelih. Bayangkan, berapa ribu masjid atau instansi atau
individu yang berqurban dalam satu kota besar.
Di Mekkah, penyembelihan hewan untuk qurban lebih
menggila. Dari 3 tata cara berhaji, salah satunya wajib menyembelih hewan yang
disebut dam. 3 tatacara haji itu; qiran, ifrad dan tamattu’. Haji tamattu’ lah
yang mewajibkan seseorang yang menjalankannya untuk membayar dam, namanya dam
haji tamattu’. Dam haji tamattu’ dilaksanakan dengan cara memotong hewan. Boleh
kambing, onta, sapi atau yang lain-lain sesuai dengan tuntunan syari’at.
Bayangkan, jika haji tamattu’ dilaksanakan oleh sepertiga dari jumlah orang
yang berhaji secara keseluruhan. Setiap tahun ada kurang lebih 5 juta orang
yang datang berhaji dari seluruh dunia. Praktis hampir dua juta hewan yang
disembelih untuk melaksanakan dam haji tamattu’. Belum lagi hewan yang
disembelih untuk merayakan hari Idul Adha. Ini dilaksanakan juga oleh orang
pribumi Mekkah yang tidak menjalankan haji. Ditambah lagi penyembelihan untuk
pembayaran dam-dam yang lain. Cukup fantastis, jumlah hewan yang disembelih
setiap tahun di Arab Saudi. Lalu, mau dibawa kemana dagingnya? Kalau satu sapi
saja seharga minimal Rp. 15.000.000, berapa ratus milliard yang dihabiskan
setiap tahun untuk sekedar memenuhi perut yang notabene tidak semua
orang suka makan daging.
Barangkali ini harus menjadi bahan pemikiran yang
lebih realistis, bahwa makna berqurban harus dikembalikan kepada khtthah awal,
yakni mendekatkan diri kepada Allah. Padahal sudah jelas-jelas Allah menyatakan
dalam surat al-Hajj ayat 37:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sejarah Nabi Ibrahim as menyembelih Nabi Ismail as,
meski tertulis dalam Al-Qur’an, merupakan kisah simbolik yang harus dimaknai
secara lebih dalam. Makna menyembelih anak sendiri yang dinisbatkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, justru bersifat spiritual. Artinya, mencintai
Allah harus melebihi kecintaan diri kepada anak. Mencintai anak justru harus
dimanisfestasikan dengan mencintai Allah.
Anak untuk ukuran kemanusiaan pada umumnya adalah
harta yang tak bisa diperbandingkan dengan apapun. Rasa cinta kepada anak
melebihi rasa cinta kepada harta dalam bentuk lain. Kasih sayang orang tua
kepada anak merupakan naluri wajar bagi setiap orang, bahkan para raja
sangat-sangat menjunjung tinggi anaknya sebagai mahkota untuk melanjutkan
tampuk kerajaannya.
Dalam perspektif kemanusiaan pada umumnya, mencintai
anak sangat bisa diwajarkan. Akan tetapi, mencintai Allah justru harus melebihi
ukuran-ukuran kecintaan dalam pandangan yang wajar. Kemampuan mencintai Allah
melebihi anak sendiri sungguh telah menjadi ukuran bagi kemampuan bertauhid.
Mencintai Allah adalah realisasi Tauhid. Karena, ia menuntut sebuah transaksi
yang tidak mudah. Pada akhirnya, Allah tidak akan menyia-nyiakan seseorang yang
mencintai-Nya, tak terkecuali anaknya, isterinya, keluarganya, lingkungan
masyarakatnya, dan lain sebagainya.
Ketika prosesi penyembelihan Nabi Ismail, as akan
berlangsung, ternyata secara tiba-tiba berubah wujudnya menjadi kambing. Kisah
ini merupakan simbolisasi bahwa Allah tidak akan berlaku dzalim terhadap
hamba-Nya yang berani mengorbankan kasih sayangnya kepada anaknya sendiri demi
mencintai Allah. Singkat katanya, berani dulu berkorban karena Allah, baru
Allah akan memberikan sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya. Karena,
mencintai Allah sangat berkaitan dengan rasa keimanan bahwa Allah akan
memberikan imbalan yang tidak disangka-sangka.
Proses berlepas diri terhadap mencintai segala sesuatu
selain Allah akan mendatangkan kegoncangan yang dahsyat. Hal itu disebabkan
karena begitu kuatnya diri terikat oleh penampakan-penampakan keduniaan. Rasa
mencintai muncul karena adanya penampakan yang mendahuluinya. Ekspressi yang
muncul dari rasa mencintai terjadi dari bekerjanya panca indera terhadap dunia
penampakan. Mencintai anak dalam hal ini adalah mencintai dunia. Ketika muncul
rasa mencintai, saat itulah ia mulai mengikat kejiwaan seseorang. Melepaskan
rasa cinta itu mengakibatkan goncangan kejiwaan yang tidak mudah dinetralisir.
Mencintai Allah menuntut pelepasan itu. Meski melepaskan cinta kepada selain
Allah, tidak akan berubah menjadi sebuah tindakan yang menyimpang dan merugikan
seseorang yang mencintai-Nya. Jika ada penyimpangan, hal yang perlu dicermati
adalah bahwa rasa cinta kepada Allah belum mencapai titik kulminasi yang mapan.
Banyak orang yang mendasarkan sebuah tindakan demi
rasa cinta kepada anaknya. Padahal tindakan yang dilakukannya justru sama
sekali tidak menunjukkan sebuah kecintaan. Mungkin benar dirinya mencintai
anaknya. Akan tetapi, spirit rasa cinta yang muncul bukan dari dasar hati
jernih yang berasal dari rasa cinta kepada Allah. Tetapi dari emosi yang
mengikat kuat pada penampakannya. Akibatnya, mengambil tindakan yang sebelumnya
dimaksud untuk memenuhi rasa cinta kepada anaknya berubah menjadi malapetaka
yang justru menjerumuskan anaknya sendiri. Fenomena yang seperti ini tidaklah
sedikit.
Allah mengajarkan manusia bagaimana seharusnya ia
mengelola semua rasa yang masuk melalui panca inderanya dengan benar. Mencintai
anak adalah salah satu contoh saja dari sekian banyak kecintaan manusia kepada
dunia penampakan. Semua itu harus ditempatkan secara proporsional berdasarkan
kecintaan kepada Allah. Allah lah yang mengatur segala titipan-Nya melalui
spirit kecintaan yang dimiliki seseorang. Banyak manusia mengukur keberhasilan
anaknya berdasarkan ukuran perencenaan secara materialistik. Masa depan
direncanakan berdasarkan kenyataan-kenyataan empirik. Padahal, rasa mendidik
yang muncul pada diri orang tua ditentukan oleh keikhlasannya melepaskan rasa
cinta kepada anak untuk hanya sekedar mencintai Allah. Setelah itu, baru muncul
pendidikan yang benar terhadap anak-anaknya. Artinya, pola yang menjadi obyek
dari pendidikan tidaklah sekedar ditujukan kepada anak, tetapi keduanya; anak
dan orang tua. Keduanya mengalami pendidikan yang beriringan. Jadi, tidak
subyektif yang sarat akan kesewenang-wenangan.
Realitas penyembelihan Nabi Ismail as oleh bapaknya,
sangat tidak mudah dibayangkan. Sepertinya i’tibar ini hanyalah cerita mitos
keagamaan yang diterjemahkan begitu saja dengan cara penyembelihan hewan. Makna
qurban dari kisah penyembelihan Nabi Ismail as, tidaklah mudah direalisasikan.
Bayangkan, Allah memerintahkan menyembelih manusia, apalagi anak sendiri. Tak
terbayangkan. Kemudian, kisah tersebut justru telah menjadi bagian dari ajaran
agama yang menuntut setiap pemeluknya untuk meyakininya. Tidaklah mudah. Bahkan
riwayat sebelum penyembelihan berlangsung Nabi Ibrahim as telah mengalami
sebuah goncangan yang hebat. Peristiwa ituah yang melatarbelakangi adanya hari
tarwiyah (8 Dzulhijjah) dan arafah (9 Dzulhijjah).
Hari tarwiyah adalah hari pemikiran atau
timbang-timbang. Berasal dari kata rowwa-yurawwi yang artinya berpikir
atau berargumen. Sedangkan Arafah adalah mengenal atau mengetahui. Tarwiyyah
merupakan sebuah penelusuran tentang kebenaran mimpi Nabi Ibrahim as untuk
menyembelih anaknya. Hal ini mencerminkan bahwa Nabi Ibrahim as juga tidak
mudah menerima perintah penyembelihan itu. Namun, timbang-timbang itu kemudian
terjawab pada hari arafah melalui perenungan yang saat ini disebut sebagai wukuf.
Wukuf adalah melepaskan segala rasa cinta yang muncul dari dunia penampakan
panca indera. Rasa cinta dan sayang kepada anaknya yang berdasarkan ukuran
panca indera harus dilepaskan. Justru rasa cinta dan sayang itu harus
ditunjukkan dengan menyembelihnya. Allahu Akbar walillahilhamd…
Mengambil spirit yang muncul dari kisah tersebut
merupakan ukuran yang harus ada pada saat sekarang. Kecintaan kepada segala
yang nampak telah memunculkan ketertutupan pada pandangan yang murni. Pandangan
yang murni berada pada proses yang seolah menyimpang pada dzahirnya. Pandangan
yang murni pada saat sekarang justru telah menjadi sebuah barang yang asing,
aneh dan bahkan dituduh ortodoks. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah
kebanyakan manusia telah diikat oleh kebohongan-kebohongan zaman. Kebanyakan
manusia telah dikendalikan oleh satu kekuatan yang tanpa sadar telah
menyeretnya kepada kehinaan dan kebinasaaan.
Wallaahu a’lamu bishshawab…
byHaqq
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul SEJARAH HAJI. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://kbihalarobiyah.blogspot.com/2013/11/sejarah-haji_1405.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Minggu, 03 November 2013
Belum ada komentar untuk "SEJARAH HAJI"
Posting Komentar
jika di rasa baik silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan sopan