Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Minggu, 03 November 2013

HAJI DALAM SEJARAH


Setiap tahun puluhan juta umat Islam mendambakan dirinya pergi ke Tanah Suci (Makkah) untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat ini sekitar empat hingga lima juta umat Islam dari berbagai negara di dunia sedang bersiap diri melaksanakan ibadah haji.
Pelaksanaan ibadah haji telah diperintahkan oleh Allah SWT sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Dan, ibadah haji merupakan sebuah perjalanan ritual dalam menghayati hakikat hidup dan keimanan kepada Allah SWT. Demikian dikemukakan intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya, Al-Hajj.
Menurut Ali Syariati, ibadah haji adalah sebuah demonstrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya adalah sebuah pertunjukan akbar tentang hakikat penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi islam, dan ummah.
“Allah adalah sutradaranya. Sedangkan, skenario atau temanya adalah tentang perbuatan orang-orang yang terlibat dan para tokoh utamanya adalah Adam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail, dan iblis. Adapun lokasinya di Masjidil Haram (Ka’bah), Mas’a (tempat sai), Arafah, Masy’ar, dan Mina. Simbolnya adalah Ka’bah, Safa, Marwa, siang, malam, matahari terbit, matahari tenggelam, berhala, dan upacara kurban. Pakaiannya adalah ihram dan aktor dari peran-peran dalam pertunjukan itu adalah umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji,” kata Ali Syariati.
Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur mengenai ibadah haji dan umrah, pelaksanaan ibadah haji telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Adapun tata cara ibadah haji yang disyariatkan kepada para nabi dan rasul itu umumnya lebih banyak berkisar pada pelaksanaan tawaf atau mengelilingi Ka’bah. Berikut sejumlah tata cara ibadah haji yang dilaksanakan sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang ini.

Nabi Adam AS

Setelah beberapa waktu sejak diturunkan ke bumi, Nabi Adam diperintahkan oleh Allah SWT pergi ke Baitullah di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Menurut sejumlah riwayat, Ka’bah dibangun oleh para malaikat. Dan selama lebih dari 2.000 tahun, malaikat sudah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka’bah). Nabi Adam AS kemudian mengikuti apa yang dilakukan malaikat.
Ka’bah awalnya telah dibangun oleh malaikat. Kemudian, Nabi Adam AS diperintahkan untuk membangun kembali Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS Ali Imran [3]: 96).

Nabi Hud dan Saleh

Para nabi setelah Adam AS juga melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Bidayah wa an-Nihayah, menyebutkan sebuah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ra, Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Nabi SAW sedang lewat di Lembah Usfan pada waktu berhaji, beliau berkata, ‘Wahai Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Lembah Usfan.’ Nabi Bersabda, ‘Hud dan Saleh AS pernah melewati tempat ini dengan mengendarai unta-unta muda yang tali kekangnya dari anyaman serabut. Sarung mereka adalah jubah dan baju mereka adalah pakaian bergaris. Mereka mengucapkan talbiyah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah’.”

Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang bertawaf dan orang-orang yang beribadah, dan orang yang ruku dan sujud. Dan, serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan’.” (QS al-Hajj [22]: 26-28).
Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk mengajak umat manusia mengerjakan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya, nabi-nabi lainnya mengerjakan hal serupa.

Nabi Muhammad SAW

Ibadah haji disyariatkan pertama kali pada tahun keenam Hijriah. Sedangkan, Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji pada tahun kesembilan Hijriah.
Banyak ayat Alquran yang memerintahkan Nabi SAW dan umat Islam untuk melaksanakan haji, sebagaimana tuntunan Allah dalam Alquran (QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22: 27).
Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah tawaf (QS 22: 29 dan 2: 125), sai antara Safa dan Marwa (QS 2: 158), wukuf (QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199), berkurban (QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36), dan tahalul atau mencukur rambut (QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29).
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka, barang siapa yang beribadah haji. (syahruddin el fikrie)
- See more at: http://www.jurnalhaji.com/rukun-haji/haji-dalam-kilasan-sejarah/#sthash.k8qcZePx.dpuf


Unknown

KEUTAMAN KOTA MADINAH ALMUNAWWAROH


Kota Al Madinah Al Munawwarah juga disebut Madinatu Rasulillah atau Madinatun Nabi adalah kota suci kedua setelah Makkah Al Mukarramah. Merupakan kota yang ramai diziarahi atau dikunjungi oleh kaum Muslimin. Di sana terdapat makam Nabi Muhammad SAW dan Masjid Nabawi yang memiliki pahala dan keutamaan bagi kaum Muslimin. Dalam Hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa :"Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) Lebih baik daripada 1000 kali shalat di tempat lainnya kecuali Masjidil Haram" (HR. Nukhari, Muslim, At Tirmidzi)
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, kota ini menjadi pusat dakwah, pengajaran dan pemerintahan Islam. Dari kota ini Islam menyebar ke seluruh jazirah Arabia lalu ke seluruh dunia.
Selain dikenal sebagai kota pusat perkembangan Islam. Madinah juga merupakan pusat dari pendidikan Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW. Juga banyak ulama-ulama dan Cendekiawan Islam yang muncul dari Madinah diantaranya adalah Imam Malik.
Tinjauan Sejarah
Kota Madinah pada masa sebelum perkembangan Islam dikenal dengan nama Yathsrib. Dikenal sebagai pusat perdagangan. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana.
Selanjutnya kota ini menjadi pusat penerus Nabi Muhammad yang dikenal dengan pusat khalifah. Terdapat tiga Khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak. Selanjutnya ketika kekuasaan beralih kepada bani Umayyah, maka pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan ketika pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, penduduk kota Madinah adalah orang yang beragama Islam dan orang Yahudi yang dilindungi keberadaannya. Namun karena penghianatan yang dilakukan terhadap penduduk Madinah ketika perang Ahzab, maka kaum Yahudi diusir keluar Madinah.
Kini Madinah bersama kota suci Mekkah dibawah pelayanan pemerintah kerajaan Arab Saudi yang merupakan pelayan kedua kota suci.
Berikut ini kami nukilkan beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitab Shahihnya dan ulama hadits lainnya mengenai kemuliaan kota Al Madinah Al Munawwarah

Kesucian Kota Madinah

Anas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Madinah itu haram (tanah suci) dari ini sampai ini, tidak boleh dipotong (ditebang) pohonnya, dan tidak boleh dilakukan bid'ah di dalamnya. Barangsiapa yang membuat bid'ah (atau melindungi orang yang berbuat bid'ah) di dalamnya, maka ia terkena laknat Allah, malaikat, dan manusia seluruhnya."
Abu Hurairah r.a. berkata, "Seandainya saya melihat biawak memakan rumput di Madinah, niscaya saya tidak akan menghardiknya." Nabi saw. bersabda, "Apa yang ada di antara dua batu hitam (tanda pembatas) Madinah itu diharamkan lewat lisanku." (Dalam satu riwayat: "Apa yang ada di antara dua batu hitam Madinah adalah haram.") Abu Hurairah berkata, "Nabi mendatangi bani Haritsah, lalu beliau bersabda, "Saya kira kalian wahai bani Haritsah, telah keluar dari Tanah Haram." Kemudian beliau berpaling dan bersabda, "Namun, kalian masih ada di Tanah Haram."

Keutamaan Madinah dan Bahwa Madinah Itu Melenyapkan Manusia yang Buruk-Buruk

Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Saya diperintahkan pergi ke suatu desa yang memakan desa-desa yang lain, mereka menyebutnya Yatsrib. Yaitu, Madinah, yang meniadakan manusia (yang buruk) sebagaimana ubupan (embusan tukang besi) meniadakan kotoran besi."

Orang Yang Membenci Madinah

Abu Hurairah r.a. berkata, "Saya mendengar Rasulullah bersabda, 'Mereka meninggalkan Madinah atas keadaannya yang terbaik. Ia tidak didatangi selain oleh pencari rezeki (yang beliau maksudkan adalah binatang buas dan burung). Akhir orang yang dikumpulkan adalah dua orang penggembala dari (kabilah) Muzainah, yang mau ke Madinah. Keduanya berteriak memanggil-manggil kambingnya. Kemudian mereka mendapatinya telah menjadi binatang liar. Sehingga, setelah keduanya sampai di Tsaniyatul Wada', mereka tersungkur pada kedua wajahnya.'"
 
Iman Akan Berhimpun ke Madinah

Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya iman itu berkumpul ke Madinah sebagaimana ular berkumpul di lubangnya."
Dosa Orang yang Bermaksud Berbuat Buruk terhadap Para Penghuni Kota Madinah
Sa'ad r.a. berkata, "Saya mendengar Nabi bersabda, 'Tidaklah seseorang membuat tipu daya terhadap penghuni Madinah melainkan ia akan hancur sebagaimana hancurnya garam dalam air.'"

Benteng-Benteng Kota Madinah
Usamah r.a. berkata, "Nabi naik ke salah satu benteng Madinah lalu beliau bersabda, 'Apakah kalian melihat apa yang aku lihat? (Mereka menjawab, 'Tidak.' Beliau bersabda 8/89) 'Sesungguhnya aku melihat tempat-tempat terjadinya fitnah di sela-sela rumah-rumah kamu seperti tempat tempat jatuhnya tetesan air hujan.'"

Dajjal Tidak Bisa Memasuki Kota Madinah

Abu Bakrah mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Tidaklah masuk kota Madinah ketakutan terhadap Masih ad-DaJjal, pada hari itu Madinah mempunyai tujuh buah pintu gerbang, di atas setiap pintu ada dua malaikat."
Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Pada pintu-pintu kota Madinah ada malaikat yang menyebabkan tha'un 'wabah' dan Dajjal tidak memasukinya.'"
Anas bin Malik r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Tidak ada suatu negeri kecuali akan dimasuki oleh Dajal selain kota Mekah dan Madinah yang setiap pintu gerbangnya ada malaikat-malaikat yang berbaris menjaganya, (maka Dajjal dan wabah tha'un tidak akan dapat mendekatinya insya Allah , dan dalam satu riwayat: Dajjal datang sehingga turun di sudut kota Madinah . Kemudian Madinah menggoncang penghuninya tiga kali. Sehingga, Allah mengeluarkan seluruh orang kafir dan munafik."
Abu Sa'id al Khudri r.a. berkata, "Rasulullah menceritakan kepada kami sebuah cerita panjang tentang Dajjal. Beliau menceritakan Dajjal itu kepada kami dengan bersabda, 'Dajjal itu akan datang dan ia diharamkan masuk pintu Madinah. Lalu, ia singgah di sebagian kota Madinah yang gersang (dalam satu riwayat: di dekat Madinah).
Pada saat itu keluarlah seorang laki-laki yang merupakan sebaik-baik manusia atau dari golongan manusia yang terbaik. Ia berkata, 'Saya bersaksi bahwa kamu adalah Dajjal yang Rasulullah telah menceritakan kepada kami tentang kamu.' Lalu Dajjal berkata, 'Bagaimana pendapatmu, jika aku matikan orang ini kemudian aku hidupkan lagi, apakah kamu masih meragukan terhadap persoalan itu?' Mereka menjawab, 'Tidak.' Kemudian ia menghidupkan lalu mematikannya. Ketika menghidupkannya, ia berkata, 'Demi Allah, saya tidak pernah dapat melihat engkau yang lebih jelas daripada yang aku lihat hari ini.' Lalu, Dajal berkata, 'Saya bunuh dia.' (Dalam satu riwayat: Lalu Dajjal hendak membunuhnya). Namun, ia tidak diberi kekuasaan terhadapnya."

Madinah Itu Dapat Melenyapkan Apa-Apa yang Buruk

Zaid bin Tsabit r.a. berkata, Nabi bersabda, 'Sesungguhnya kota Madinah itu adalah (negeri yang bagus), ia mengeluarkan orang-orang (dalam satu riwayat: dosa-dosa, dan dalam riwayat lain: kotoran yakni manusia-manusia kotor), sebagaimana halnya api membersihkan karat besi (dalam satu riwayat: karat perak)."
Raudhah (Taman)
Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Di antara rumahku dengan mimbarku terletak sebuah raudhah (taman) dari taman-taman surga. Mimbarku itu ada di atas telagaku."
Secara bahasa "raudhah" berarti kebun atau taman. Sedangkan yang dimaksud Raudhah di sini adalah suatu tempat yang berada di antara mimbar dan makam Muhammad SAW. Tempat ini selalu digunakan oleh Nabi SAW untuk melakukan shalat sampai akhir hayat beliau. Nabi SAW bersabda :
"Dari Abi Sa'id al-Khurdri ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Tempat di antara kubur dan mimbarku ini adalah Raudhah (kebun) di antara beberapa kebun surga". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Karena tempat ini sangat istimewa, maka seorang di sunnahkan untuk selalu beribadah dan shalat di Raudhah Nabi SAW ini. Disebutkan, seorang muslim yang sedang berziarah ke Madinah, selama dia berada di Madinah, seyogyanya selalu melaksanakan shalat lima waktu di masjid Nabi SAW dan berniat i'tikaf setiap dia memasuki masjid Nabi SAW.
Dia juga dianjurkan untuk mendatangi Raudhah guna memperbanyak shalat dan do'a di sana karena ada hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, "Tempat yang diantara kuburku dan mimbarku ini adalah Raudhah (kebun) diantara beberapa kebun surga". Seseoarang juga dianjurkan untuk berdo'a di depan mimbar Nabi SAW. Sesuai dengan sabda Nabi SAW, "Mimbarku ini berada di atas telagaku." (al-Hajj wa al-'Umrah Fiqhuh wa Asraruh, 237)
Dengan redaksi yang berbeda, al-Imam ar-Rabbani Yahya bin Syarf al-Nawawi dalam kitabnya Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj menjelaskan, dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW bersabda, "Mimbarku ini berada di atas telagaku". Imam al-Khathabi berkata, "Maksud hadist di atas adalah bahwa 'orang yang selalu istiqamah melaksanakan ibadah di depan mimbarku, maka kelak di hari kiamat, ia akan minum air dari telagaku' ". (al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal 'Umrah, 456)

Keistimewaan Gunung Uhud

Gunung Uhud mencintai Rasulullah SAW dan begitu juga sebaliknya.
Dari Anas bin Malik r.a, Rasulullah bersabda : "Sesungguhnya Uhud adalah satu gunung yang mencintai kami dan kami juga mencintainya." (Disetujui Al-Bukhari dan Muslim)
Gunung Uhud berguncang ketika Rasulullah SAW beserta para sahabat beliau ketika berdiri di atasnya
Dari Anas bin Malik r.a, Rasulullah mendaki gunung Uhud bersama dengan Abu Bakar r.a, Umar r.a dan Ustman r.a. Ketika itu gunung Uhud berguncang. Kemudian Rasulullah SAW menghentakkan kakinya dan bersabda :
"Diamlah kamu wahai Uhud, karena sesungguhnya berada di atas kamu adalah seorang Nabi, seorang Siddiq dan dua orang syahid" (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Gunung Uhud adalah salah satu dari gunung-gunung di Surga.

Keutamaan Pemakaman Al-Baqi'

Area pemakaman Al-Baqi' adalah suatu area pemakaman para sahabat Nabi, Tabi'in, Tabi'ut tabi'in, dan para ulama serta orang saleh sesudahnya. Sering Nabi mengunjunginya pada waktu malam dan berdoa dan memohon ampunan untuk mereka yang dikebumikan di pemakaman ini
- Diantara doa beliau yang diajarkan kepada kita untuk Ahli al-Baqi' :
"Kesejahteraan atas kamu wahai penghuni-penghuni Makam dari kalangan mukminin dan muslimin. Allah merahmati mereka yang terdahulu dan kemudian dari kalangan kami dan sesungguhnya kami dengan izin Allah akan mengikuti kamu"
"Kesejahteraan atas kamu tempat tinggal orang-orang yang beriman, dan telah datang pada kamu barang apa yang telah dijanjikan untukmu, kamu ditangguhkan hingga hari esok dan dengan izin Allah kami akan mengikuti kamu, wahai Allah, ampunilah penghuni-penghuni Baqi' Al-Gharqod"
- Jenazah yang dimakamkan di Baqi' akan dibangkitkan pertama di Padang Mahsyar
- 70.000 dari penghuni Baqi' dibangkitkan dan masuk Surga tanpa hisab

Jika kita simpulkan maka kota Madinah memiliki sejumlah keutamaan dan kemuliaan, antara lain :
-Tempat yang diprioritaskan penyebutan namanya dalam Al-qur'an.
-Yang menjadikan Madinah sebagai tanah haram (suci) adalah Rasulullah SAW
-Pengharaman pemburuan dan buruan di Madinah.
-Larangan memotong pohon-pohon, mencabutnya dan memungut barang yang tercecer.
-Pengharaman mengangkat senjata dan berperang di dalamnya.
-Allah SWT memilih Madinah sebagai tempat hijrah Rasulullah SAW.
-Allah SWT memilih Madinah sebagai tempat disemayamkannya jasad Rasulullah SAW.
-Madinah dibersihkan dari Syirik.
-Iman akan kembali ke Madinah.
-Keberkahan di Madinah dilipatgandakan.
-Dajjal tidak boleh memasuki Madinah.
-Madinah tidak akan dimasuki oleh wabah Ta'un.
- Anjuran untuk tinggal dan meninggal disana
- Tanahnya sebagai syifa’ (penyembuh)
- Para Malaikat menjaga Madinah sampai hari Kiamat.
- Madinah bermandikan cahaya pada saat kedatangan Rasulullah.
- Beribadah di Masjid nabawi dilipatgandakan pahalanya seribu kali.



Unknown

KEUTAMAAN MAKKAH AL MUKARROMAH


Makkah merupakan tempat yang dimuliakan dan disucikan oleh Allah SWT. Buktinya adalah seringnya kata Makkah disebut-sebut dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Kata Makkah sering disebut-sebut dalam Al Qur’an dengan redaksi yang berbeda-beda. Jika sesuatu sering disebut dengan beraneka nama, hal ini megisaratkan bahwa tempat atau nama tersebut memilki nilai tinggi serta mulia bahkan mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki lainnya.
Misalkan kata pedang dalam bahasa Arab disebut Saif, Muhannad, Sorim, Silah, Battar dan lain-lain yang kesemuanya mempunyai makna yang sama yaitu pedang. Begitu juga kata harimau dalam bahasa Arab disebut Asad, Usama, Haidar, Laits, Fahad dan lain-lain, yang kesemuanya bermakna satu yaitu singa. Pedang dan harimau mempunyai banyak padanan kata karena dua kata itu dianggap memiliki kehebatan dan keistimewaan.
Dalam literatur Islam, sejak zaman jahiliyah kuno sampai saat ini banyak sekali orang Arab memberi nama putra-putranya dengan nama Usama, Fahad, Laits, dengan maksud bila nama-nama ini disebut, kabilah-kabilah lain yang mendengarnya akan merasa gentar dan ketakutan. Sebab Fahd, Usamah dan Laits merupakan binatang yang sangat hebat dan kuat bahkan menakutkan.
Nama-Nama Tanah Suci Makkah
1. Makkah
Tanah Haram Makkah adalah salah satu kota suci yang sering disebut oleh Al-Qur’an dan hadits. Makkah adalah nama yang sering disebut serta akrab ditelingga umat islam, Allah SWT dalam Al qur’an QS, Al Fath 23 yang berbunyi :” Artinya “Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
2. Bakkah
Makkah disebut juga dengan Bakkah yang berarti tunduk, nama ini mengisaratkan pada tempat yang penuh dengan barokah berdasarkan Al Qur’an (QS al-An’am: 92)”Artinya “
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Dalam literatur islam, yang di maksud Bakkah adalah siapa pun yang datang ke Makkah akan tunduk dengan keagungan Ka’bah.
3. Umm Al Qura.
Dalam ayat lain Makkah juga disebut Umm al-Qura, bahkan nama ini dijadikan nama Universitas “ Umm Al Qura University”. Kampus ini sangat terkenal dan tidak asing, letaknya di Al Aziziyah dan dikembangkan di Abidiyah. Nama Umm Al Qura bersumber dari Aq Qur’an (QS al-An’am: 92 ) yang berbunyi;”
Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sholatnya.
Dinamakan Umm Al qura, karena memiliki kemulyaan (lebih mulya dan utama) dari pada tempat lain serta lebih dicintai Allah SWT dan Rosulullah SAW.
4. Al Baladul Amin
Allah SWT juga menyebut tanah Haram dengan Al Balad Al Amin, ini tertuang dalam surat Al-Balad, bahkan Allah bersumpah dengan ‘’Al Balad” berdasarkan QS-Al Tin yang berbunyi” Artinya “
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun. Demi bukit Sinai. Dan demi kota (Makkah) ini yang aman.
Surat ini mengisaratkan keistimewaan yang dimiliki kota Makkah, karena Allah telah bersumpah dengannya.
5. Al Baldah.
Allah menyebut kota Makkah dengan Al Baldah, berdasarkan QS, An-Naml 91 yang berbunyi”Artinya”Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Makkah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.
            Nama-nama diatas adalah nama yang disebutkan didalam Al qur’an, masih banyak lagi nama yang belum disebutkan. Banyaknya sebutan untuk Makkah dalam al-Qur'an ini juga menunjukan banyaknya keistimewaan dan keutamaan yang dimilikinya.

Satu lagi keistimewaan Makkah Al-Mukarramah yang tidak dimiliki oleh tempat lain yaitu bahwa Makkah menjadi tempat kelahiran makhluk yang paling mulia diantara makhluk lainya. Dialah Muhammad, Rasulullah SAW, sebagai Nabi dan utusan terakhir yang membawa risalah besar untuk jin dan manusia serta sebagai rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin).

Selain itu, Makkah menjadi tempat turunnya wahyu (al-Qur'an). Allah juga memilih Makkah sebagai tempat istimewa dalam penanaman akidah serta perjuangan Nabi selama tiga belas tahun dalam mendidik para sahabatnya sehingga menjadi generasi pertama Islam di bawah bimbingan Rasulullah SAW.

 Allah SWT mengistimewakan Makkah tidak hanya dengan keberadaan Rasulullah SAW di sana, tetapi juga keberadaan kuil tua yang berumur ribuan tahun yang berdiri kokoh dan berwibawa yaitu Ka’bah al-Musyarrafah. Manusia setiap tahun menziarahinya, jutaan umat manusia siang dan malam dari berbagai penjuru dunia datng mengelilinginya. Dialah, rumah yang pertama kali dibangun di muka bumi ini. Allah SWT meyebutnya Baitullah dalam surat Ali Imran ayat 96.
Makkah dan Baitullah adalah dua nama yang tak terpisahkan. Keduanya terkait dan mempunyai makna yang istimewa serta penuh nuansa historis. Keduanya menjadi tujuan kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia yang merindukan dan mengaguminya dengan mengharap ridha Ilahi.

Satu hal lagi keistimewaan Makkah yang tidak ditemukan di tempat lain, yaitu Zam-zam. Mata air ini mengalir sepanjang musim, baik musim hujan, panas, atau dingin. Keberadaannya melengkapi keistimewaan lain kota Makkah selain keberadaan Rasulullah, Ka’bah dan al-Qur'an.

Sungguh sempurna Makkah Al-Mukarramah. Dihiasi dengan Manusia paling sempurna, dibangun Baitullah yang begitu indah dan agung yang dikelilingi malikat, jin dan manusia siang dan malam sepanjang zaman. Tempat diturunkanya wahyu yang dibawa langsung oleh Jibril AS, serta terdapat mata air yang sangat jernih kaya dengan mineral yang memanacar disudut ka’bah. Begitulah Makkah, ia akan selalu suci dan disucikan Allah walupun manusia jauh dari perintah-Nya.

 Keistimewaan Makkah tidak hanya pada namanya yang banyak, tetapi Makkah juga mepunyai karateristik yang unik dan menarik serta keistimewaan yang tidak dimiliki tempat lain dimuka bumi ini.  

Beberapa keutamaan Makkah antara lain:
  1. Tempat dibangunnya Baitullah (Ka’bah), dan dibolehkan sholat sunnah diwaktu yang terlarang (HR. Abu   Dawud).
  2. Tempat kelahiran manusia sempurna (utusan Allah) Nabi Muhammad SAW. Kehadiran beliau di muka bumi merubah dunia dari kegelapan menjadi bercahaya dengan sinarnya. Merupakan kewajiban bagi umatnya menziarahi beliau baik yang dekat maupun yang jauh jika mampu.
  3. Tempat yang suci dari orang-orang non-Muslim, karena tidak diperbolehkan bagi non-Muslim masuk ke dalamnya berdasarkan teks yang sangat jelas. Bagi kaum muslimin yang memasukinya harus benar-benar khusyu’, tawadlu’ serta meninggalkan bentuk pakaian dan jabatan serta perhiasan dunia.
  4. Tempat yang aman bagi siapa saja yang memasukinya, dan diharamkankan saling membunuh di dalamnya (perang) atau memasukinya dengan membawa senjata.
  5. Tempat yang mendapatkan dispensasi bagi orang-orang yang bertaubat, dan mendapatkan pengampunan, serta dilipatgandakan bagi yang beramal sholih.
  6. Satu-satunya tempat yang disyariatkan thawaf (keliling Ka’bah). Thawaf juga termasuk penghapus dosa dan kesalahan dan dicatat sebagai amal kebaikan, bahkan pahalanya diibaratkan memerdekakan budak (Riwayat Al Hakim , Al Mustadrok Ala Al Shohihain).
  7. Allah tidak memerintahkan untuk berkunjung ke mana pun kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid an-Nabawi, serta Masjidil al-Aqsha (HR. Al Bukhari).
  8. Satu-satunya kiblat umat Islam dari seluruh penjuru dunia dan tidak ada tempat yang diperintahkan untuk melambaikan (mengecup) kecuali Hajar Aswad. Dengan kecupan bisa melunturkan dosa-dosa yang melekat dalam jasad dan hati manusia. (HR. At Tirmidzi)
  9. Makkah juga tempat beribadah yang digandakan semua bentuk ibadah menjadi seratus ribu kali dari yang dilakukan di luar kota Makkah (HR. Al Bukhari).
  10. Tidak dipebolehkan membelakangi Ka’bah ketika buang hajat sebagai tanda keagungan Baitullah al-Haram.
Unknown

SEJARAH HAJI DAN UMROH


Sejarah Haji & Umrah, Ternyata sejak zaman Nabi Ibrahim
Kita harus memulai wacana tentang ibadah haji dari pribadi agung yang pertama kali mengajarkannya, yaitu Nabi Ibrahim a.s. (`alayhi s-salam, semoga kedamaian bagi beliau), nenek moyang bangsa Arab dan Ibrani, serta bapak dari tiga agama monoteis: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dengan asumsi bahwa sepertiga penduduk bumi sekarang adalah Kristiani, seperlimanya adalah Muslim, dan sepertigaratusnya adalah Yahudi, tokoh yang mengajarkan ibadah haji tersebut ternyata dihormati oleh lebih dari separoh penghuni planet ini, dengan sebutan yang bervariasi: Abrahem, Abraham, Ibrahim, dan mempunyai julukan sangat mesra: Sahabat Tuhan (Khalilu l-Lah; Khafer Elohim; Amigo Dei; Friend of God).

Dalam Kitab Alquran, nama Nabi Ibrahim a.s. disebutkan 69 kali yang tersebar dalam 25 Surat dan merupakan peringkat kedua terbanyak disebutkan sesudah Nabi Musa a.s. Berdasarkan informasi Alquran, ditambah dengan informasi dari Bereshith (Genesis), Kitab Taurat yang pertama, kita dapat menelusuri riwayat hidup Nabi Ibrahim a.s. Beliau lahir dan dibesarkan di negeri Ur, tanah Kaldea, daerah muara Sungai Efrat (Irak sekarang) sekitar empat ribu tahun yang silam. Meskipun hidup di lingkungan masyarakat Mesopotamia yang menyembah benda-benda langit, Ibrahim sejak muda remaja telah memiliki sifat hanif, yaitu cenderung kepada kebenaran adanya Satu Tuhan. Sebagaimana diterangkan dalam Alquran Surat Al-An`am 74-83, Ibrahim menolak penyembahan bintang, bulan dan matahari, serta mendambakan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan dalam bahasa Mesopotamia disebut El atau Il (nama negeri Babel atau Babil berarti Pintu Tuhan). Anak keturunan Ibrahim kelak, yaitu bangsa Ibrani dan bangsa Arab, memodifikasi nama ini dengan penambahan huruf Ha (Dia), masing-masing menjadi Eloh dan Ilah. Nama yang terakhir ini kemudian diberi kata sandang (artikel definit) Al-, menjadi Al-Ilah atau Allah. Akan tetapi El dan Il sebagai nama Tuhan masih dijumpai dalam bahasa Ibrani dan Arab pada nama-nama Gabriel (Jibril), Michael (Mika'il), Yishma`el (Ismail), Yisra'el (Isra'il), dan sebagainya.

Perlu diketahui bahwa masyarakat Mesopotamia memakai sistem bilangan dasar enam. Merekalah yang mewariskan kepada kita pembagian lingkaran menjadi 360 derajat, pembagian satu hari menjadi 24 jam, satu jam menjadi 60 menit, dan satu menit menjadi 60 detik. Sistem ini menjadikan bilangan tujuh sebagai sesuatu yang istimewa. Bilangan 60 habis dibagi 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, tetapi tidak habis dibagi tujuh. Itulah sebabnya satu minggu harus tujuh hari, dan sesuatu yang maksimal harus dinyatakan dalam jumlah tujuh. Oleh karena Allah berkomunikasi melalui wahyu-Nya dalam bahasa Nabi yang bersangkutan, maka manasik (tatacara) haji yang disyari`atkan kepada Nabi Ibrahim a.s. banyak melibatkan bilangan tujuh, seperti tujuh putaran thawaf, tujuh bolak-balik sa`i, dan tujuh lontaran terhadap jumrah.

Sang pemuda Ibrahim yang baru menikah dengan gadis pujaannya, Sarah, mengikuti keluarganya pindah dari Ur, menelusuri Sungai Efrat ke daerah hulu di utara, lalu menetap di Haran yang sekarang terletak di wilayah Turki. Penduduk Haran merupakan penyembah berhala dan diperintah oleh seorang raja yang zalim. Kitab Alquran tidak menerangkan nama raja ini, tetapi sumber sejarah Ibrani atau kisah Isra'iliyat menyebutnya Raja Nimrod, yang kemudian disalin menjadi Namrud atau Namruz dalam bahasa Arab. Dalam Alquran Surat Al-Anbiya' 51-73 diterangkan bahwa Ibrahim mengobrak-abrik berhala-berhala sehingga sang raja murka dan membakar Ibrahim hidup-hidup. Akan tetapi Allah menyelamatkan Ibrahim dengan menjadikan api itu dingin. Kemudian datang perintah Allah agar Ibrahim meninggalkan negerinya.

'Lekh leka!' (Pergilah engkau!), demikian perintah Allah yang tercantum dalam Kitab Bereshith (Genesis) 12 : 1, 'dari negerimu, keluargamu dan rumah bapakmu, ke tanah yang akan Kutunjukkan padamu'. Kitab Alquran Surat Ash-Shaffat 99 merekam pernyataan Ibrahim : Inni dzahibun ila rabbi, sa yahdin (Sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku, kelak Dia menunjuki daku). Tanah yang dijanjikan Allah itu bernama Kana'an, bahasa Aram yang berarti ungu, sebab penduduknya terkenal memproduksi zat warna ungu (purple dyes). Dalam bahasa Yunani kata untuk ungu adalah phonix, sehingga mereka menyebut daerah itu Phoenicia. Bangsa Ibrani kelak menamainya Pelishtim, dan sejarawan Herodotus abad kelima SM mempopulerkannya sebagai Palaistine (Palestina).

Perintah Allah kepada Ibrahim itu disertai tujuh janji, sebagaimana tercantum dalam Kitab Bereshith 12 : 2-3, yaitu: (1) Aku akan menjadikan engkau bangsa yang besar; (2) Aku akan memberkati engkau; (3) Aku akan membuat namamu masyhur; (4) Engkau akan menjadi suatu berkat; (5) Aku akan memberkati mereka yang memberkati engkau; (6) Aku akan mengutuk mereka yang mengutuk engkau; dan (7) Seluruh kaum di muka bumi melalui engkau akan diberkati.

Kenyataan menunjukkan bahwa dari tiga komunitas agama (Yahudi, Nasrani, Islam) yang mengaku sebagai 'anak-anak Ibrahim', hanya umat Islam yang setiap hari menyebut nama Ibrahim dengan penuh khidmat. Pada bagian akhir shalat mereka, dengan khusyuk umat Islam membisikkan kama barakta `ala ibrahim (sebagaimana Engkau telah menganugerahkan berkat kepada Ibrahim).

Ibrahim dalam usia yang makin lanjut belum juga memperoleh keturunan. Beliau tiada henti-hentinya berdoa kepada Allah: Rabbi habli mina sh-shalihin (Ya Tuhanku, karuniai daku anak yang saleh), sebagaimana tercantum dalam Ash-Shaffat 100. Kitab Bereshith 16 : 3 mengungkapkan: ”Dan Sarah istri Ibrahim mengambil Hajar orang Mesir pembantunya, setelah Ibrahim menetap sepuluh tahun di tanah Kana'an, dan dia memberikannya kepada Ibrahim suaminya sebagai istri”. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa Hajar adalah pembantu Sarah (naskah Ibraninya shifhah = pembantu, maid), dan sama sekali bukanlah 'budak' atau 'hamba' (amah dalam bahasa Ibrani). Juga perlu ditegaskan bahwa Hajar bukanlah 'gundik' Ibrahim, melainkan istri yang sah. Kata pada akhir ayat Bereshith 16 : 3 yang digunakan untuk Hajar dalam naskah Ibrani berbunyi ishah (istri, wife) yang juga digunakan pada awal ayat untuk Sarah.

Fa basysyarnahu bi ghulamin halim (Maka Kami gembirakan dia dengan seorang anak yang cerdas), demikian firman Allah dalam Ash-Shaffat 101. Hajar melahirkan seorang putra, yang diberi nama oleh ayahnya Yishma`el (dalam bahasa Ibrani) atau Ismail (dalam bahasa Arab), yang berarti 'Tuhan mendengar', yaitu mendengar doa Ibrahim untuk memperoleh keturunan. Bereshith 16 : 16 menambahkan informasi 'Dan Ibrahim berusia 86 tahun ketika Hajar melahirkan Ismail baginya.'

Setelah Ismail lahir, turunlah perintah Allah tentang kewajiban bersunat (khitan). Dalam Bereshith 17 : 10 tertulis 'Inilah perjanjian-Ku yang harus engkau pegang, antara Aku dengan engkau dan benihmu sesudah engkau, yaitu setiap laki-laki di antaramu haruslah disunat.” Bagi yang ingkar kepada kewajiban ini, Bereshith 17 : 14 menegaskan ”Dan laki-laki yang tidak disunat kulit khatannya, maka orang itu harus dikeluarkan dari kelompoknya. Dia telah mengingkari perjanjian-Ku.' Sekali lagi kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam paling konsisten dalam melaksanakan kewajiban bersunat atau khitan ini. Jadi, mereka yang tidak disunat sudah tentu sangat tidak pantas untuk disebut atau mengaku sebagai 'anak-anak Ibrahim'.

Tentang Ismail, Aku mendengarkanmu, demikian firman Allah kepada Ibrahim dalam Bereshith 17 : 20. Dalam naskah Ibrani kalimatnya cuma dua kata: uleyishma`el shema`tika, dan sangat menarik bahwa kedua kata ini memiliki tiga huruf dasar yang sama yaitu shin, mem,`ayin. 'Aku akan memberkati dia dan membuatnya berketurunan sangat banyak. Dua belas pemimpin (melek) akan diperanakkannya, dan Aku akan menjadikannya bangsa yang besar.'

Ternyata Allah mempunyai Rencana Besar untuk Ibrahim dan Ismail. Allah memerintahkan Ibrahim untuk membawa Hajar dan anak mereka yang masih kecil meninggalkan Kana'an ke arah selatan, menuju sebuah lembah yang bernama Baka atau Bakkah. Oleh karena mim dan ba sama-sama huruf bilabial (bibir), nama Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah. Dalam bahasa Arab dan Ibrani, kata baka mempunyai dua arti: 'berderai air mata' dan 'pohon balsam'. Arti yang pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seolah-olah tidak memberikan harapan, dan arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon balsam (genus Commiphora) yang tumbuh di sana.

Apakah keistimewaan lembah Bakkah itu? Allah menjelaskannya dalam Surat Alu Imran 96: Inna awwala baitin wudhi`a li n-nasi la l-ladzi bi bakkata mubarakan wa hudan li l-`alamin (Sesungguhnya Rumah Allah Pertama yang didirikan untuk manusia benar-benar terletak di Bakkah yang diberkati dan petunjuk bagi seluruh alam). Ternyata lembah Bakkah itu merupakan lokasi Rumah Allah (Baitu l-Lah dalam bahasa Arab, Beth Elohim dalam bahasa Ibrani) yang didirikan oleh generasi pertama umat manusia dari zaman Nabi Adam a.s. Pada masa Nabi Ibrahim a.s. lembah itu sudah ditelantarkan, tiada manusia yang menghuni, dan Rumah Allah yang pertama itu hanya tinggal fondasinya saja. Ada cerita yang mengatakan bahwa Rumah Allah itu hancur oleh banjir pada zaman Nabi Nuh a.s. Bagaimana kejadian yang sebenarnya, hanya Allah yang tahu.
Kisah Hajar dan Ismail dikumpulkan dan ditulis oleh sejarawan Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (wafat 310 Hijri atau 922 Masehi) dalam bukunya yang termasyhur, "Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk" (Sejarah Para Rasul dan Para Penguasa), Jilid 1, hh. 275-283: 'Ketika mendapat perintah dari Allah untuk menuju Rumah-Nya, Ibrahim pergi bersama Hajar dan Ismail disertai malaikat Jibril. Mereka sampai di Makkah yang cuma ditumbuhi pohon akasia, mimosa, balsam dan semak berduri. Rumah Allah saat itu tinggal dasarnya berupa lempung merah. Jibril berkata, Allah memerintahkan engkau untuk meninggalkan mereka. Ibrahim membawa Hajar dan Ismail ke Hijir (di samping Ka`bah sekarang) dan membuat tenda di sana. Lalu Ibrahim berdoa: 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan keturunanku di lembah yang tiada tumbuhan berbuah, di samping Rumah-Mu Yang Suci, agar mereka tetap menegakkan salat. Maka jadikanlah hati manusia berpaling kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur' (Surat Ibrahim 37). Ketika Ibrahim akan pergi, Hajar bertanya, 'Apakah perintah Allah yang membuatmu meninggalkan kami?' Ibrahim menjawab, 'Ya.' Maka Hajar berkata, ”Jika demikian tentu Allah tidak meninggalkan kami untuk binasa.' Maka Ibrahim kembali ke Kana'an, meninggalkan mereka berdua di Rumah Allah.”

Masih kutipan dari Thabari: 'Ismail menangis karena sangat kehausan. Hajar memasang telinga untuk mendengar suara yang mungkin membantunya memperoleh air. Dia mendengar suara di bukit Safa, lalu pergi ke sana tetapi tidak menemukan apapun. Lalu dia mendengar suara di bukit Marwah. Dia pergi ke sana, juga tidak menemukan apapun. Hajar kembali ke Safa, lalu balik lagi ke Marwah, dengan tidak merasa letih supaya anaknya dapat minum.'

Bereshith 21 : 17-19 melengkapi kisah ini: 'Dan Allah mendengar suara anak itu, dan malaikat Allah memanggil dari langit dan berkata kepadanya, 'Apakah yang engkau susahkan, Hajar? Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat dia berbaring. Bangunlah, angkatlah anak itu dan bimbinglah dia, sebab Aku akan menjadikannya bangsa yang besar.' Dan Allah membuka mata Hajar dan dia melihat sebuah mata air. Dia pergi mengisi kirbat kulitnya dengan air, lalu memberi anak itu minum.

Kembali kepada uraian Thabari: 'Ketika Hajar sampai di Marwah setelah tujuh kali bolak-balik, tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari lembah tempat dia meninggalkan Ismail. Dia berlari menuju anaknya, dan mendapati mata air memancar dekat tempat dia berbaring. Hajar mengisikan air ke kirbat kulitnya sambil berseru, 'Zummi, zummi'. Ada yang mengatakan bahwa itu bahasa Mesir yang berarti 'Berkumpul, berkumpul.' Mungkin juga itu hanya ucapan Hajar menirukan bunyi air yang memancar. Hanya Allah yang Maha Tahu, tetapi dari ucapan Hajar itulah asal nama telaga Zamzam.'

Adanya sumber air berupa telaga Zamzam membuat tempat itu layak dihuni. Maka datanglah rombongan suku Jurhum yang pemimpinnya bernama Mudad, memohon izin kepada Hajar dan Ismail untuk menetap di sana.

Pada waktu-waktu tertentu, secara rutin Ibrahim dari Kana'an datang mengunjungi istri dan anak beliau di lembah Makkah yang lambat laun tumbuh menjadi suatu pemukiman.

Ketika Ismail berusia 13 tahun datanglah ujian dahsyat yang tiada tara. Allah memerintahkan Ibrahim agar berqurban menyembelih putranya yang satu-satunya itu! Sungguh suatu ujian yang sangat berat bagi seorang ayah, namun karena itu perintah Allah maka Ibrahim menyanggupinya tanpa keraguan. Ketika perintah Allah itu disampaikan Ibrahim kepada sang anak, dan ketika Ismail ditanyai pendapatnya oleh sang ayah, maka Ismail yang masih berusia remaja itu menjawab: Ya abati, if`al ma tu'mar. Sa tajiduni insya'a l-Lahu mina sh-shabirin ('Wahai ayahanda, laksanakan apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah ayah akan mendapatiku sebagai anak yang sabar'), sebagaimana tercantum dalam Surat Ash-Shaffat 102.

Ibrahim membawa Ismail ke suatu bukit di sebelah timur Makkah, tempat yang sekarang bernama Mina. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk membatalkan rencananya, tiga kali pula Ibrahim menolak godaan Iblis dengan lontaran kerikil. Tindakan Ibrahim ini kelak diabadikan dalam salah satu manasik (tatacara) haji, yaitu melontar tiga jumrah di Mina. Setelah Ismail direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang Ibrahim telah siap hendak menyentuh leher putranya, maka Allah berfirman agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba. Firman Allah dalam Ash-Shaffat 106-107: Inna hadza lahuwa l-bala'u l-mubin. Wa fadaynahu bi dzibhin `azhim ('Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar').

Ibrahim tidak kehilangan putra, bahkan putranya bertambah satu lagi, sebab setelah peristiwa ujian qurban itu Allah memberikan kabar gembira bahwa istri pertamanya, Sarah, akan memberinya putra yang bernama Ishaq (dalam bahasa Arab) atau Yitshaq (dalam bahasa Ibrani), sebagaimana diterangkan dalam Ash-Shaffat 112: Wa basysyarnahu bi ishaq, nabiyyan mina sh-shalihin ('Dan Kami gembirakan dia dengan Ishaq, seorang nabi yang saleh'). Ishaq kelak menurunkan bangsa Ibrani, sedangkan Ismail kelak menurunkan bangsa Arab, terutama suku Quraisy di Makkah.

Sekarang marilah kita tinjau informasi Bereshith mengenai peristiwa qurban tersebut. Dalam Bereshith 22 : 2 perintah Allah kepada Ibrahim berbunyi: 'Ambillah anakmu yang satu-satunya, yang engkau kasihi, Ishaq(?), dan pergilah ke tanah Moriah dan kurbankan dia sebagai kurban bakaran pada salah satu gunung yang akan Aku firmankan kepadamu.'

Ketika naskah Taurat dibakukan, para ulama Yahudi mengganti nama Yishma`el (Ismail) pada Bereshith 22 dengan Yitshaq (Ishaq). Tetapi akal bulus Yahudi ini kelihatan sekali belangnya. Bereshith 22 : 2 jelas menyebutkan 'anakmu yang satu-satunya'. Naskah Ibraninya berbunyi yahid, artinya 'satu-satunya'. Hal ini berarti bahwa ujian Allah kepada Ibrahim terjadi sebelum Ishaq lahir, ketika Ibrahim baru mempunyai seorang putra, yaitu Ismail. Kitab Taurat sendiri jelas menyebutkan bahwa Ismail lahir ketika Ibrahim berusia 86 tahun (Bereshith 16 : 16), sedangkan Ishaq lahir ketika Ibrahim berusia 100 tahun (Bereshith 21 : 5).

Dalam Al-Baqarah 75 dinyatakan bahwa kaum Yahudi 'mendengar firman Allah lalu mengubahnya setelah memahaminya padahal mereka mengetahui' (yasma`una kalama l-Lahi tsumma yuharrifunahu min ba`di ma aqaluhu wa hum ya`lamun). Skandal pengubahan nama Ismail menjadi Ishaq dalam peristiwa qurban itu disebabkan umat Yahudi tidak rela keturunan Ismail berperan dalam pelaksanaan janji Allah pada Bereshith 22 : 18 'Dan semua bangsa di muka bumi akan diberkati melalui benihmu, karena engkau telah mendengarkan firman-Ku'.

Janji Allah tersebut dipertegas dalam Al-Baqarah 124: 'Dan ketika Tuhannya menguji Ibrahim dengan perintah-perintah tertentu, maka Ibrahim memenuhi semuanya. Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau imam (pemimpin) bagi manusia.' Ibrahim bertanya, 'Juga keturunanku?' Allah berfirman, 'Perjanjian-Ku tidak mencakup mereka yang zalim'.

KEMUDIAN turunlah perintah Allah kepada Ibrahim dan Ismail untuk membangun atau merenovasi Rumah Allah (Baitullah) dengan meninggikan fondasi yang memang sudah ada. Al-Baqarah 127 memberikan informasi: yarfa`u ibrahimu l-qawa`ida mina l-baiti wa Ismail (Ibrahim meningkatkan fondasi Al-Bait bersama Ismail). Oleh karena bangunan Rumah Allah yang didirikan Ibrahim dan Ismail itu berbentuk kubus (ka'bah dalam bahasa Arab), lama-kelamaan Rumah Allah yang berukuran 12 x 10,5 x 15 meter itu dikenal dengan sebutan Kakbah.

Perlu diketahui bahwa Nabi Ibrahim a.s. memiliki kebiasaan membuat semacam "tempat berdiri" untuk sembahyang (salat) menghadap Allah, yang disebut magom (bahasa Ibrani) atau maqam (bahasa Arab). Di Kana'an beliau sempat membuat sebuah magom, sebagaimana tercantum dalam Bereshith 19 : 27, tetapi magom tersebut rupanya tidak dilestarikan. Di depan Kakbah beliau juga membuat sebuah maqam.

Oleh karena itu, Allah mengabadikan maqam (tempat berdiri) Nabi Ibrahim di depan Kakbah itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Baitullah. Wa ttakhidzu min maqami ibrahima mushalla (Dan ambillah Maqam Ibrahim menjadi tempat sembahyang), demikian tercantum dalam Al-Baqarah 125. Sebagai catatan kecil, entah mengapa istilah maqam (makam) digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut "kuburan" sehingga ada jemaah haji yang menyangka Maqam Ibrahim sebagai "kuburan Nabi Ibrahim", padahal kuburan beliau terletak di Hebron atau Al-Khalil, daerah Tepi Barat, Palestina.

Setelah Kakbah rampung dibangun, barulah turun perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. agar menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah mengunjungi Baitullah disebut hajj dalam bahasa Arab serta hagg dalam bahasa Ibrani (huruf Arab ha dan jim identik dengan huruf Ibrani heth dan gimel) yang berarti 'Perayaan Tuhan, Festival of God'. Surat Al-Hajj 27 merekam firman Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.: Wa adzdzin fi n-nasi bi l-hajj. Ya'tuka rijalan wa `ala kulli dhamir, ya'tina min kulli fajjin `amiq (Dan panggillah manusia untuk berhaji. Mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan segala jenis kendaraan, datang dari segenap penjuru yang jauh).
Wa arina manasikana (Dan tunjukkanlah kepada kami tatacara haji bagi kami), demikian permohonan Ibrahim kepada Allah yang tercantum dalam Al-Baqarah 128. Oleh karena itu, Allah mengajarkan tatacara (manasik) ibadah haji kepada Nabi Ibrahim a.s. Manasik haji yang pertama-tama adalah melakukan ihram, artinya 'mengharamkan' atau 'mensucikan', yaitu mengenakan pakaian ihram serta tidak melakukan larangan-larangan ihram. Begitu jemaah haji menginjakkan kaki di Tanah Haram (Tanah Suci), mereka harus sudah menanggalkan pakaian mereka sehari-hari dan menggantinya dengan kain ihram. Ini suatu perlambang atau simbol bahwa di Rumah Allah manusia harus bersedia membebaskan diri dari segala atribut kekayaan, jabatan, dan status sosial yang disandangkan orang kepadanya. Di hadapan Allah, semua manusia tanpa kecuali berstatus sama, yaitu Hamba Allah.

Kemudian para jemaah haji harus melakukan wuquf (berdiam, jambore) di Padang Arafah, sekira 25 km di sebelah timur Makkah. Inilah upacara gladi resik berkumpulnya umat manusia di Padang Mahsyar pada Hari Akhirat nanti, sekaligus para jemaah haji melakukan "reuni" di tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah kedua nenek moyang umat manusia ini terusir dari Taman Eden (Jannatu `Adn). Itulah sebabnya tempat wuquf itu dinamai Padang Arafah, artinya 'Padang Pengenalan' agar manusia mengenali kembali persaudaraan sebagai sesama anak cucu Adam dan Hawa. Ketika melakukan wuquf, jemaah haji menyadari bahwa umat manusia yang bermacam-macam warna kulit, bahasa, dan adat-istiadat ternyata adalah saudara sedarah dan seketurunan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hujurat 13: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi".

Selanjutnya, para jemaah haji harus melakukan thawaf, yaitu mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh putaran. Inilah tarian kosmos sebab Allah menakdirkan bahwa alam semesta hanya eksis karena gerakan thawaf. Jemaah haji meniru gerakan elektron-elektron yang berthawaf mengelilingi inti atom serta gerakan planet-planet yang berthawaf mengelilingi matahari. Hari Kiamat akan terjadi ketika thawaf alam semesta berhenti. Seluruh materi di jagat raya, dari partikel-partikel penyusun atom sampai benda-benda langit senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Ilahi yang mengatur mereka. Dengan melakukan thawaf diharapkan manusia sebagai bagian alam semesta menyadari bahwa mereka pun seharusnya tunduk-patuh kepada aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya seluruh isi langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Ali Imran 83: "Apalagi yang mereka cari selain agama Allah, padahal kepada-Nya telah Islam (tunduk-patuh) segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa, dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan".

Sesudah melakukan thawaf, jemaah haji harus melakukan sa'i, meniru gerakan Hajar bolak-balik tujuh kali antara bukit Safa dan bukit Marwah. Kata sa'i berarti usaha. Ternyata Hajar baru memperoleh anugerah air Zamzam dari Allah setelah dia melakukan sa'i (usaha) yang maksimal. Dengan melakukan sa'i diharapkan manusia menyadari bahwa kesuksesan dan kejayaan hanya dapat diraih melalui usaha atau perjuangan maksimal, bukan dengan sekadar berdoa sambil berpangku tangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam An-Najm 39-40: "Bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali apa yang diusahakannya (ma sa`a), dan bahwa usahanya (sa`yahu) akan segera terlihat nyata".

Sekarang kita teruskan perjalanan sejarah kita. Ismail menikah dengan Ra`la binti Mudad, putri pemimpin Jurhum yang diceritakan di muka. Pernikahan ini membuahkan dua belas putra yang menurunkan bangsa Arab (Bani Ismail). Nama-nama mereka tidak disebutkan dalam Alquran, tetapi tercantum lengkap dalam Bereshith 25 : 13-15. Yang banyak disebut-sebut adalah dua orang putra tertua, Nabit (Nebayot) dan Qaydhar (Kedar), sebab mereka berdua kelak menurunkan suku Quraisy penduduk Makkah. Sementara itu di Palestina, Ishaq menikah dengan Ribqah (Rebecca) dan berputra Ya`qub. Ya`qub yang bergelar Yisra'el atau Isra'il mempunyai dua belas putra yang menurunkan bangsa Ibrani (Bani Isra'il).

Pada mulanya Bani Isra'il pun ikut serta dengan saudara-saudara mereka Bani Ismail menunaikan ibadah haji ke Makkah sebagai sesama keturunan Nabi Ibrahim. Akan tetapi ketika bangsa Arab atau Bani Ismail tersesat kepada penyembahan berhala, Bani Isra'il tidak lagi mengunjungi Kakbah (Ibn Ishaq, Sirah an-Nabawiyyah, h.15). Namun, dalam Kitab Zabur dari Nabi Daud a.s. tersurat kerinduan kepada Baitullah: "Sungguh diberkati mereka yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berteguh hati menunaikan haji. Dan ketika tiba di Lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air" (Zabur 84 : 5-6).

Hanya Allah yang tahu berapa lama Bani Ismail tetap memegang teguh ajaran Tauhid dari Nabi Ibrahim a.s. Setelah beberapa abad, mereka tergelincir mempersekutukan Allah dengan berhala-berhala. Ratusan berhala dipasang di sekeliling Kakbah dengan berbagai nama-nama aneh: Lata, Uzza, Manat, Hubal, Asaf, Na'ilah, dan entah apa lagi. Manasik atau tatacara haji juga dicampurbaurkan dengan upacara pemujaan berhala. Keadaan seperti ini berlangsung berabad-abad. Namun, akhirnya tibalah saatnya doa Nabi Ibrahim a.s. dikabulkan, yaitu doa yang beliau sampaikan kepada Allah ketika mendirikan Kakbah: "Ya Tuhan kami, bangkitkanlah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Al-Baqarah 129).

Sebagai jawaban atas doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut, Allah membangkitkan seorang manusia dari kalangan suku Quraisy yang bernama Muhammad saw. (shalla l-Lahu `alayhi wa sallam, kehormatan Allah bagi beliau beserta kedamaian) sebagai Nabi dan Rasul Terakhir yang meneruskan dan menyempurnakan ajaran seluruh Nabi dan Rasul terdahulu. Beliau lahir tahun 571, menerima wahyu pertama tahun 610, hijrah ke Madinah tahun 622, dan wafat tahun 632. Usia beliau 61,5 tahun menurut tarikh syamsiyah (kalender matahari) atau 63 tahun menurut tarikh qamariyah (kalender bulan). Kita hanya akan membahas perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. yang berkenaan dengan upacara haji.

Pada tahun 625 (4 Hijri), Allah menetapkan bahwa syariat haji dari Nabi Ibrahim a.s. harus dilaksanakan oleh umat Islam, dengan turunnya ayat: "Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam" (Ali Imran 97). Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji diwajibkan "bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana" (man istatha`a ilayhi sabila), yaitu mampu dalam hal fisik (sehat), finansial (mempunyai biaya), dan sekuriti (aman tiada gangguan). Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad saw. baru menunaikan ibadah haji tahun 10 Hijri (632 M), tiga bulan sebelum beliau wafat dan enam tahun sesudah ayat di atas diwahyukan. Ketika perintah haji itu diwahyukan Allah, Makkah sedang dikuasai oleh kaum musyrikin yang memusuhi Muslimin di Madinah. Beberapa bulan sebelum perintah haji itu turun berlangsunglah Perang Uhud (3 Hijri), dan tahun sebelumnya (2 Hijri) terjadi Perang Badar, lalu pada tahun 5 Hijri terjadi Perang Khandaq. Kondisi seperti itu sudah tentu tidak memungkinkan bagi Nabi Muhammad saw. beserta para sahabat untuk menunaikan ibadah haji.

Akan tetapi Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Makkah, untuk menunaikan ibadah haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim dan tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, orang-orang Anshar ini melapor kepada Rasulullah bahwa mereka mengerjakan sa'i dengan keraguan sebab di tengah mas`a (jalur sa`i) antara Safa dan Marwah terdapat dua berhala besar Asaf dan Na'ilah. Oleh karena itu, turunlah wahyu Allah, yaitu Al-Baqarah 158: Inna sh-shafa wa l-marwata min sya`a'iri l-Lah. Fa man hajja l-baita aw i`tamara fa la junaha `alayhi an yaththawwafa bi hima. Wa man tathawwa`a khairan fa inna l-Laha syakirun `alim ('Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari syi`ar-syi`ar Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui'). Ayat ini kelak sering dibaca oleh para jemaah haji ketika melakukan sa`i.

Pada bulan April 628 (Dzulqa`dah 6 Hijri) Rasulullah saw. bermimpi menunaikan umrah (kunjungan) ke Makkah dan mengajak para sahabat untuk mewujudkan mimpi tersebut. Rasulullah pun dengan disertai 1.500 sahabat berangkat menuju Makkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah.

Kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah. Suhail mengusulkan, antara lain, kesepakatan genjatan senjata dan kaum Muslimin harus menunda umrah dengan kembali ke Madinah, tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Makkah. Rasulullah menyetujui perjanjian ini meskipun para sahabat banyak yang kecewa, namun tidak ada yang berani menentang keputusan Junjungan mereka.
Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. "Perjanjian Hudaibiyah" merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam sebab untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Al-Fath 27: "Sungguh Allah akan memenuhi mimpi rasul-Nya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat".

Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 atau Dzulqa`dah 7 Hijri) Rasulullah saw. beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Nabi yang berjumlah sekira 2.000 orang memasuki pelataran Kakbah untuk melakukan tawaf, orang-orang Makkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak-teriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah bersabda kepada jemaahnya, "Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan thawaf dengan berlari!"

Sesudah mencium Hajar Aswad, Rasulullah saw. dan para sahabat memulai tawaf dengan berlari-lari mengelilingi Kakbah sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah mengajak para sahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunah tawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idhthiba') serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang pertama.

Selesai tujuh putaran, Rasulullah saw. salat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah me-lakukan sa`i antara Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul ('menghalalkan kembali') atau membebaskan diri dari larangan-larangan ihram, dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Ketika masuk waktu duhur, Rasulullah saw. menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Kakbah untuk mengumandangkan azan.

Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang-orang Makkah berkumpul ke arah "suara aneh" yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang salat berjamaah. Hari itu, 17 Dzulqa`dah 7 Hijri (17 Maret 629), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Makkah dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi imam salat di depan Kakbah!

SESUAI dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. dan para sahabat hanya tiga hari berada di Makkah, kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi, kegiatan Muslimin di Makkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash, dan Utsman ibn Thalhah, menyusul ke Madinah untuk mengucapkan Kalimat Syahadat. Di kemudian hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru ibn Ash membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi. Adapun Utsman ibn Thalhah dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Kakbah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Kakbah silih berganti hingga Dinasti Saudi sekarang, kunci Kakbah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.

Beberapa bulan sesudah Rasulullah saw. berumrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian genjatan senjata sehingga pada 20 Ramadan 8 Hijriah (11 Januari 630) Rasulullah saw. beserta sepuluh ribu pasukan menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Bahkan, Rasulullah saw. memberikan amnesti umum kepada warga Makkah yang dahulu memusuhi Muslimin. La tatsriba `alaykumu l-yaum. Yaghfiru l-Lahu lakum wa huwa arhamu r-rahimin (Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang), demikian sabda Rasulullah saw. mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s. yang tercantum dalam Surat Yusuf 92. Akibatnya, seluruh orang Quraisy masuk Islam. Turunlah Surat An-Nasr: "Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu dan memohon ampunlah pada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat". Setelah menerima ayat ini, Rasulullah pada ruku dan sujud dalam salat mengucapkan Subhanaka llahumma rabbana wa bi hamdika, allahumma ghfirli (Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah daku).

Dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan umat Islam, Rasulullah saw. segera memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Kakbah serta membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8 Hijriah itu Rasulullah saw. melakukan umrah dua kali, yaitu ketika menaklukkan Makkah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya berarti Rasulullah saw. sempat melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijriah.

Pada bulan Zulhijah 9 Hijriah (Maret 631), Rasulullah saw. mengutus sahabat Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut lantaran kesibukan beliau dalam menghadapi Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah 28 yang baru diterima Nabi bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah haji karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran Nabi Ibrahim a.s.

Pada tahun 10 Hijriah (632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad saw. yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawwal Rasulullah saw. mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji.

Rasulullah saw. berangkat dari Madinah sesudah salat Jumat tanggal 25 zulkaidah (21 Februari) mengendarai unta beliau yang bernama Al-Qashwa', dengan diikuti sekira 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta dan juga putri beliau yang saat itu masih hidup, Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, Rasul dan rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma', melahirkan putra yang diberi nama Muhammad dan Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah. Akan tetapi, Rasulullah mengatakan bahwa Asma' cukup mandi bersuci, memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abi Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661).

Keesokan harinya, Sabtu 26 zulkaidah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah saw. menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji). Tidak ada seorang pun yang berniat umrah sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (Tamattu`, Ifrad, Qiran) yang kita kenal sekarang baru diterapkan Rasulullah di Makkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Makkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada hari Sabtu 3 Zulhijah (29 Februari), Rasul dan rombongan tiba di Sarif, 15 km di utara Makkah, kemudian beristirahat. Aisyah, istri Nabi, kedatangan masa haidnya sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah saw. menghiburnya, "Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali thawaf sampai engkau suci."

Pada Ahad 4 Zulhijah (1 Maret) pagi, Rasulullah dan rombongan memasuki kota Makkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan diperkirakan total jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah yang terletak di samping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Gerbang Banu Syaibah ini kelak populer dengan nama Babu s-Salam ('Pintu Kedamaian'). Perlu dijelaskan bahwa yang disebut Masjid al-Haram waktu itu adalah pelataran Kakbah tempat salat dan tawaf (secara harfiah, masjid artinya tempat sujud), sedangkan bangunan masjid baru dirintis pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) dan mengalami perluasan dari zaman ke zaman sehingga akhirnya megah seperti sekarang.

Juga perlu dijelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan masuk masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Babu s-Salam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa`i termasuk Safa dan Marwah menjadi bagian masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Babu s-Salam. Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu Babu s-Salam "made in Saudi" ini dengan anggapan melaksanakan Sunah Nabi!
Pada awal setiap putaran tawaf, jemaah haji disunahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di pojok tenggara Kakbah. Rasulullah saw. memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijriah, beliau mengecup Hajar Aswad. Ketika penaklukan Makkah, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijriah, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Cara yang terakhir ini sangat praktis dan mungkin paling afdal. Akan tetapi, kenyataannya banyak jemaah haji sekarang yang bersikut-sikutan untuk mengecup Hajar Aswad. Hanya karena penasaran, dia rela melakukan yang haram (menyakiti jemaah yang lain) untuk mengejar yang sunah!

Rasulullah saw. melakukan tawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau, bertawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling populer: Rabbana atina fi d-dunya hasanah wa fi l-akhirati hasanah wa qina `adzaba n-nar (Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka). Setelah selesai tujuh putaran, beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.

Sesudah itu Rasulullah saw. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Kakbah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah saw. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.

Setelah selesai sa`i, Rasulullah saw. di Marwah menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji. Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat ber-tahallul (bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8 Zulhijah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Zulhijah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Zulhijah) mereka harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu`, artinya 'bersenang-senang' sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.

Pada mulanya para sahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi karena manasik seperti itu (umrah di musim haji) belum pernah ada, apalagi Nabi sendiri ternyata tidak ber-tahallul. Melihat keraguan para sahabat, Rasulullah saw. bersabda, "Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku telah menghadapi urusanku (membawa hadyu) dan tidak dapat mundur lagi sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyu-ku." Ada juga sahabat yang penasaran bertanya, "Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?" "Tahallul untuk semuanya!" jawab Nabi.

Kemudian Rasulullah saw. menegaskan, "Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya." Artinya, umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji! Mendengar penegasan Rasulullah, para sahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu ber-tahallul secara massal. Hanya Rasulullah saw. dan sebagian kecil sahabat yang terus berihram (tidak ber-tahallul) sebab mereka membawa hadyu.

Sejak saat itu mulailah dikenal tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu` atau "bersenang-senang" (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau "mandiri" (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Makkah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau "gabungan" (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Makkah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah saw. dalam ibadah haji beliau. Hal ini disimpulkan dari fakta bahwa beliau membawa hadyu dan sesudah mengerjakan haji beliau tidak lagi melakukan umrah secara terpisah sampai beliau kembali ke Madinah tanggal 14 Zulhijah.

Sebenarnya cara Haji Tamattu` bukanlah inovasi Rasulullah saw., melainkan memang diperintahkan oleh Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya, melalui wahyu yang turun ketika Rasulullah dan rombongan tertahan di Hudaibiyah empat tahun sebelumnya (6 Hijriah), tetapi baru pada ibadah haji tahun 10 Hijriah Rasulullah berkesempatan menerapkan pelaksanaannya. Ayat perintah tamattu` itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi l-`umrati ila l-hajj (bersenang-senang dengan umrah ke haji) bagi mereka yang bukan penduduk Makkah, li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi l-haram (bagi mereka yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid al-Haram).

Ketika Rasulullah dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah, semuanya berniat haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah, di kemudian hari yang tercatat dalam hadis-hadis (berita-berita tentang Sunah Nabi), "Kami keluar bersama Nabi saw. hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan tawaf dan sa`i ('kami' di sini adalah jemaah haji sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk ber-tahallul." Keterangan Jabir ibn Abdillah, sahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah, lebih tegas lagi, "Kami para sahabat Rasulullah saw. bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah sebab kami tidak mengenal umrah! (lasna na`rifu l-`umrah)." Maksud Jabir sudah tentu adalah tidak mengenal "umrah di musim haji" sebab ketika di Dzulhulaifah "sistem lama" (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah saw.

Rupanya Nabi saw. sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196 agar umat tidak terkejut dengan "sistem baru" (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah dan rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Zulhijah sebelum masuk Makkah, beliau mulai melakukan "sosialisasi" sistem baru dengan mengumumkan kepada jemaah haji, "Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah." Di sini Rasulullah hanya mengimbau dengan kalimat "siapa mau" (man sya'a). Esok harinya, tanggal 4 Zulhijah 10 Hijriah (1 Maret 632) ketika semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Makkah, serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan tawaf dan sa`i, barulah Rasulullah memerintahkan cara Haji Tamattu` bagi yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para sahabat, sampai-sampai Rasulullah sebagai manusia normal sedikit emosi melihat para sahabat pada awalnya enggan "meralat" niat haji menjadi umrah.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji Indonesia yang sudah tentu bukan pribumi Makkah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah repotnya kondisi di pesawat udara sehingga besar kemungkinan tidak diperkenankan oleh pihak Garuda!), tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah saw. untuk mengambil cara Haji Tamattu`. Hal ini berlaku baik bagi jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun bagi jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke Makkah).

DARI tanggal 5 sampai 7 Zulhijah (2-4 Maret), Rasulullah saw. melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin salat di Masjid al-Haram, melakukan tawaf sunat, dan salat sunat di Hijir Ismail. Meskipun beliau dalam keadaan berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir beliau di Suq al-Layl dan berziarah ke kuburan istri yang paling beliau cintai, Khadijah al-Kubra, yang terletak di Ma'la. Beliau juga menghapuskan kebiasaan aneh pada masa Jahiliyah: orang yang berihram tidak boleh masuk rumah dari pintu, tetapi harus membuat lubang di belakang rumah atau ma­suk lewat atap! Tradisi yang entah dari mana asalnya ini dilarang oleh Nabi berdasarkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 189.

Pada Kamis 8 Zulhijah (5 Maret), Rasulullah saw. memerintahkan umat beliau yang memakai cara Tamattu` kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai cara Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam keadaan berihram sebab sesudah tawaf dan sa`i mereka tidak bertahallul. Manasik haji yang beliau terapkan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina sangat perlu kita cermati sebab manasik ini merupakan "sistem baru" yang berbeda dengan "sistem lama" (cara Jahiliyah), berdasarkan aturan Ilahi dalam Al-Baqarah 196-203 yang diwahyukan tahun 6 Hijriah dan baru sempat diterapkan pada ibadah haji Rasulullah saw. tahun 10 Hijriah.
Pada tanggal 8 Zulhijah pagi, Rasulullah saw. beserta jemaah haji pergi menuju Mina untuk mempersiapkan air sebab mulai tanggal 10 Zulhijah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Zulhijah disebut Hari Tarwiyah (tarwiyah artinya 'mempersiapkan air'). Di zaman modern sekarang, meskipun air di Mina sudah berlimpah sehingga para jemaah tidak perlu tarwiyah atau mempersiapkan air, sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina tanggal 8 Zulhijah merupakan salah satu sunnah haji. Paling tidak, hal itu perlu dilakukan untuk "napak tilas" perjalanan Nabi.

Namun, perlu dipertimbangkan bahwa sekarang pemerintah Arab Saudi terus-menerus membongkar rumah-rumah di Mina agar kapasitas Mina tetap memadai dalam menampung jemaah haji yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Akibatnya, berlaku hukum ekonomi: ongkos sewa rumah di Mina semakin mahal sehingga jemaah haji yang ingin singgah di Mina tanggal 8 Zulhijah harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar.

Pada hari Jumat, 9 Zulhijah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah saw. dan seluruh jemaah haji berangkat menuju Arafah. Ketika melewati Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah berhenti sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwukuf di Masy`ar al-Haram (Muzdalifah), sedangkan yang berwukuf di Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan agar seluruh jemaah haji tanpa kecuali kembali kepada syariat Ibrahim untuk berwukuf di Arafah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 199: Afidhu min haitsu afadha n-nas (Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia).

Sebelum masuk Arafah, Rasulullah saw. singgah di Namirah dan ketika masuk waktu zuhur (matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang Arafah untuk berkhotbah sebagai tanda dimulainya acara wukuf. Rasulullah menghentikan unta beliau, Al-Qashwa', di suatu tempat yang ketinggian. Di samping beliau berdiri Rabi`ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang. Ia ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu jemaah yang hadir. Sesudah Rasulullah mengucapkan tahmid dan takbir, memuji dan membesarkan nama Allah, beliau memberikan khotbah yang isinya antara lain sebagai berikut:

"Wahai manusia (Ayyuha n-nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu di tempat wukuf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan Dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.

Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba lagi, dan riba yang pertama kuhapuskan adalah riba dari Abbas ibn Abdil-Muttalib seluruhnya. Semua pertumpahan darah di masa jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi`ah ibn Harits ibn Abdil-Muttalib yang dibunuh oleh Hudzail.

Wahai manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi, dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah, tetapi tetap kamu perbuat. Maka, waspadalah terhadap setan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak terhadapmu. Bertakwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah.

Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, dan tidaklah halal seseorang mengambil milik saudaranya kecuali dia memberikan dengan rela. Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang bukan Arab melainkan lantaran takwa."

Di akhir khotbah beliau, Rasulullah saw. bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir, "Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?" Jemaah haji serempak menjawab, "Benar, telah engkau sampaikan." Maka Rasulullah mengacungkan tangan beliau ke langit sambil berseru, "Wahai Allah, saksikanlah! Wahai Allah, saksikanlah!" Kemudian Rasulullah menutup khotbah beliau dengan bersabda, "Maka hendaklah yang telah menyaksikan daripadamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga siapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya daripada yang sekadar mendengarkan. Mudah-mudahan berlimpahlah rahmat dan berkat Allah kepada kamu sekalian."

Selesai berkhotbah, Rasulullah saw. turun dari unta, lalu memimpin salat zuhur dan asar secara jama` dan qasar. Kemudian beliau menuju Sakhrat, batu karang di kaki bukit Jabal Rahmah. Di sini Rasulullah saw. menerima wahyu Al-Ma'idah 3: Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu `alaykum ni`mati wa radhitu lakumu l-islama dina (Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku dan Aku relakan bagimu Islam sebagai agamamu).

Ketika Rasulullah saw. menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para sahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibn Khattab bertanya, "Apa yang kau tangiskan, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa agama kita telah sempurna?" Abu Bakar menjawab, "Tidakkah terpikir olehmu, wahai anak Khattab, hal itu merupakan isyarat bahwa Rasulullah mungkin cuma sebentar lagi bersama-sama dengan kita."

Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wukuf. "Haji itu di Arafah," sabda beliau. Sambil menghadap kiblat, Rasulullah dan para sahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir, berdoa, memohon ampun, membaca ayat-ayat Quran, dan memperbanyak talbiyah.

Setelah matahari terbenam, Rasulullah saw. mengajak para jemaah haji untuk berangkat menuju Muzdalifah (Masy`ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 198: Fa idza afadhtum min `arafatin fa dzkuru l-Laha `inda l-masy`ari l-haram (Maka ketika kamu membanjir dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`ar al-Haram). Rasulullah saw. mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qashwa'. Di zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan Arafah dengan setengah berlari maka Rasulullah melarang cara yang tergopoh-gopoh ini. "Tenang, tenang, sebagaimana tenangnya jiwa. Hendaklah yang kuat di antaramu membantu dan mengawasi yang lemah," demikian sabda beliau.

Sesampai di Muzdalifah, Rasulullah saw. dan rombongan menunaikan salat magrib dan isya secara jama` dan qasar. Rasulullah dan sebagian besar jemaah haji bermalam di Muzdalifah, tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah, wanita, dan anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam supaya dapat melontar jumrah sebelum massa membanjir datang. Sawdah, istri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah mengizinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil-Muttalib. Di kemudian hari, Abdullah ibn Abbas ini (nama populernya Ibnu Abbas) menjadi salah seorang perawi hadis yang termasyhur.

Sesudah salat subuh di Muzdalifah, Rasulullah saw. memimpin jemaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak membonceng di punggung Al-Qashwa' adalah sepupu beliau Fadhil ibn Abbas (kakaknya Abdullah). Ketika melewati lembah Muhassir, Rasulullah menyuruh para jemaah haji mempercepat langkah seraya bersabda, "Bersegeralah melewati Muhassir sebab di lembah ini ashhabu l-fil (pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil."

Pada hari Sabtu, 10 Zulhijah (7 Maret), pagi hari Rasulullah saw. sampai di Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis di atas jumrah, Rasulullah saw. menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat Anshar (suku Aws dan Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.

Berbeda dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang terletak di lapangan terbuka, Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampung batu lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan di Jumrah Aqabah cuma setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit. Di kemudian hari, meskipun bukit Aqabah sudah dipapas rata dengan tanah, umat Islam "tidak berani" menjadikan penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah sebagai lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain, mungkin karena takut dianggap bid`ah. Sampai sekarang, Jumrah Aqabah dibiarkan tetap dikelilingi setengah lingkaran.
Pada tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah saw. melakukan berbagai manasik dengan urutan sebagai berikut: Rasulullah melontar Jumrah Aqabah dengan batu kerikil sebanyak tujuh kali, dan beliau bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan secara maksimal terhadap godaan setan. Sesudah melontar beliau berdoa, Allahuma j`alhu hajjan mabruran wa sa`yan masykuran wa dzanban maghfuran (Ya Allah, jadikanlah manasik ini membuahkan haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan dosa yang terampuni). Kemudian Rasulullah menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah saw. melakukan tahallul dengan menyuruh Khirasy, yang mencukur beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah, untuk mencukur kepala beliau. Yang mengharukan adalah ketika Rasul dicukur Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke muka mereka sambil menangis karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.

Selanjutnya, Rasulullah saw. pergi ke Makkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Kakbah. Setelah salat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu, Rasulullah mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Zulhijah itu beliau tidak melakukan sa`i di antara Safa dan Marwah. Sa`i beliau cukup satu kali tanggal 4 Zulhijah yang sudah mencakup sa`i haji dan umrah. Akan tetapi, sebagian besar para sahabat melakukan sa`i tanggal 10 Zulhijah atau sesudahnya karena mereka mengambil cara Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul. Inilah sa`i haji bagi para sahabat yang Tamattu` sebab sa`i mereka tanggal 4 Zulhijah adalah sa`i umrah saja dan belum sa`i haji.

Rasulullah saw. memberikan kelonggaran pada jemaah haji untuk melakukan manasik-manasik di atas dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawaf dan sa`i boleh dilakukan secara acak, tidak usah berurutan. Para jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan. Bahkan, manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada Hari Nahar (10 Zulhijah). Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq (11-13 Zulhijah). Tawaf dan sa`i boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq, bahkan boleh dilakukan sesudah jemaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Zulhijah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini: dari Muzdalifah jemaah haji langsung ke Makkah melakukan tawaf dan sa`i, lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwah, kemudian baru ke Mina untuk melontar jumrah atau menyembelih hadyu. "Kerjakan saja, tidak apa-apa." If`al, la haraj, demikianlah selalu jawaban Rasulullah saw. ketika beliau ditanya oleh para jemaah mengenai urutan manasik-manasik di atas.

Apa pun urutan manasik yang dipilih oleh jemaah haji, Rasulullah saw. menginstruksikan jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam Hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah mengizinkan paman beliau, Abbas ibn Abdil-Muttalib, bermalam di Makkah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Rasul untuk tidak menginap di Mina.

Pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah saw. dan para jemaah haji melontar secara berturut-turut Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan akhirnya Jumrah Aqabah, masing-masing tujuh lontaran. Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Juga bagi orang yang sakit, lanjut usia, lemah, atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.

Di masa jahiliyah kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah saw. melarang kebiasaan takabur ini dan menggantinya dengan zikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 200: Fa idza qadhaitum manasikakum fa dzkuru l-Laha ka dzikrikum aba'akum aw asyadda dzikra (Maka ketika kamu telah menunaikan manasikmu, berzikirlah kepada Allah seperti menzikiri bapak-bapakmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya).

Rasulullah saw. juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi jemaah haji untuk memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 203: Fa man ta`ajjala fi yaumaini fa la itsma `alayhi wa man ta'akhkhara fa la itsma `alayhi, li manittaqa (Barangsiapa yang bergegas dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa yang belakangan juga tiada dosa baginya, yang penting mereka takwa).

Jadi pada tanggal 12 Zulhijah sore hari jemaah haji boleh melakukan nafar awwal (pulang duluan) meninggalkan Mina pulang ke Makkah. Mereka yang ingin nafar awwal harus sudah berada di luar Mina sebelum magrib. Jika saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil nafar tsani (pulang rombongan kedua), yaitu harus bermalam di Mina dan melontar lagi tiga jumrah tanggal 13 Zulhijah, baru pulang ke Makkah. Sebagian sahabat memilih nafar awwal dan sebagian lagi memilih nafar tsani. Adapun Rasulullah saw. melakukan nafar tsani, pulang ke Makkah tanggal 13 Zulhijah.

Pada malam 14 Zulhijah, Rasulullah saw. menyuruh istri beliau, Aisyah, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. "Inilah pengganti umrahmu yang gagal," sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan`im dengan ditemani adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar, lalu mereka berdua melakukan tawaf dan sa`i sehingga ber-tahallul di Marwah. Pengalaman Aisyah yang melakukan Haji Ifrad (haji dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh para ulama di kemudian hari untuk membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan penduduk Makkah dan tidak membawa hadyu. Juga pengalaman Abdurrahman ibn Abi Bakar yang berumrah lagi dijadikan dasar untuk membolehkan umrah sunah di musim haji dengan berihram dari Tan`im. Akan tetapi, ada juga para ulama yang berpendapat bahwa jemaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad lantaran haid) serta umrah sunah di musim haji tidak dicontohkan Rasul dan para sahabat (umrahnya Abdurrahman lantaran menemani kakaknya). Wallahualam.

Sesudah salat subuh hari Rabu 14 Zulhijah (11 Maret), Rasulullah saw. dengan istri-istri beliau, kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berada lama-lama di Makkah sebab pekerjaan beliau selaku Kepala Negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabiulawal 11 Hijriah (8 Juni 632), Rasulullah saw. berpulang ke Rahmatullah. Sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita akan kembali.

Demikianlah kisah ibadah haji dari Nabi Ibrahim a.s. sampai Nabi Muhammad saw. Marilah kita menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu Rukun Islam. Di samping untuk melaksanakan perintah Allah, ibadah haji juga sangat banyak manfaatnya bagi kita, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hajj 28: li yasyhadu manafi`a lahum (agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka). Rasa nikmat menunaikan ibadah haji sungguh luar biasa dan tidak dapat diceritakan, melainkan hanya dapat dirasakan sendiri.

Oleh Drs. H. Irfan Anshory

http://irfananshory.blogspot.com/

Unknown